Jumat, 22 Agustus 2014

Mengenal Diri

Apa yang terlintas di dalam benak Saudara ketika mendengar kata empowering? Bisa jadi yang terlintas adalah Saudara sedang menguatkan orang lain dan membantu mereka untuk mencapai potensi mereka. Namun sebelum hal itu terjadi kita harus memahami dasar dari meng-empowered orang lain. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebelum kita mengenal dan menerima diri kita sendiri, kita tidak akan pernah merasa secure dan akibatnya kita juga tidak akan pernah dapat meng-empowered orang lain dengan maksimal. Hubungan kita dengan orang lain akan selalu dipenuhi oleh motif-motif tertentu yang membuat kita tidak bebas untuk melihat orang lain apa adanya dan mengasihi mereka. Oleh karena itu, sebelum kita mulai membahas untuk meng-empowered orang lain, kita harus belajar untuk mengenal diri kita terlebih dahulu.

Setiap orang unik, memiliki panggilan yang unik, dan diperlengkapi dengan unik
Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya:"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa."
Yeremia 1:4-5

Sebelum kita melanjutkan pembahasan kita, berhentilah sebentar untuk merenungkan kebenaran ayat di atas. Tuhan telah mengenal kita sejak permulaan bahkan sebelum kita ada. Bukankah ini sesuatu hal yang luar biasa! Kita ada di dalam pikiran Allah sejak permulaan dan Dia menyertai kita bahkan sebelum dunia ini dijadikan.
Saya percaya bahwa Tuhan, sebagaimana pada kasus Yeremia, juga telah menetapkan kita untuk menjalankan fungsi dan peran kita di dunia ini. bagi Yeremia, perannya adalah seorang nabi, namun bagi kita perannya mungkin berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang itu unik. Mengapa bisa unik? Jawabannya sederhana karena setiap orang diperhadapkan kepada lingkungan dan masalah yang berbeda. Mari kita ambil contoh sederhana: saya dan Saudara berbeda keluarga. Dengan satu faktor pembeda ini saja sudah membuat peran saya unik dari peran Saudara karena kondisi keluarga saya berbeda dengan kondisi keluara Saudara. Dengan demikian peran dan fungsi saya di dunia secara otomatis berbeda dari Saudara. Tapi bagaimana dengan saudara kandung saya? bukankah mereka berada dalam satu keluarga dengan saya? Ya, kita memang berada dalam satu keluarga tapi apakah itu berarti bahwa saya dan saudara kandung saya memiliki peran dan fungsi yang identik di dalam keluarga kami? Jawabannya adalah tidak! Bahkan saudara kandung pun memiliki peran dan fungsi yang berbeda di dalam keluarga. Kita baru memperhitungkan satu faktor yaitu keluarga, sekarang tambahkan faktor keluarga tersebut dengan faktor lainnya seperti faktor teman sekolah, rekan kerja, permasalahan yang berbeda, dan seterusnya. Ringkasnya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghadapi persoalan yang kita hadapi dan berada di posisi kita sekarang ini. Peran kita benar-benar unik dan tiada duanya.
Karena peran dan fungsi kita unik dan tiada duanya, rasanya tidaklah berlebihan kalau saya mengatakan bahwa panggilan kita pun secara otomatis menjadi unik. Kita didesain oleh Tuhan untuk dapat memenuhi peran kita: untuk memberikan dampak atau pengaruh yang baik bagi keluarga, teman-teman, dan lingkungan di mana kita berada dan saya percaya kalau Tuhan mengutus kita untuk melakukan sesuatu maka dia akan memperlengkapi kita untuk dapat mengerjakan bagian kita dengan efektif
Tuhan memperlengkapi kita agar kita dapat mengerjakan perbuatan baik yang Tuhan telah tetapkan untuk kita (Efesus 2:10). Saudara percayalah bahwa seluruh potensi yang dapat membantu kita untuk dapat mengerjakan tugas kita secara efektif telah Tuhan tanamkan di dalam diri kita.
Saya memiliki sebuah smartphone yang cukup membantu saya di dalam berkomunikasi maupun di dalam mengerjakan tugas-tugas saya yang lain. Saya percaya bahwa perusahaan smartphone ini telah memperhitungkan sebelumnya apa yang bisa dilakukan oleh smartphone ini. Mereka menentukan segmen pasar apa yang dituju, apa yang dibutuhkan oleh segmen pasa tersebut, dan apa yang membuat smartphone tersebut berbeda dari smartphone yang lain. Kemudian mereka mendesain, membuat spesifikasi yang dibutuhkan serta memasukkan aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan agar dapat menjawab kebutuhan segmen pasar yang dituju. Fakta bahwa smartphone ini ada di tangan saya sekarang adalah bukti sudah ada desain sebelumnya dan seluruh proses di atas sudah dilalui.
Demikian juga halnya dengan kita. Fakta bahwa kita ada adalah bukti bahwa tuhan sudah mendesain kita sebelumnya untuk memenuhi suatu tujuan tertentu. Itulah panggilan kita. Bukan suatu kebetulan kita berada di tempat kita sekarang ini: di tengah keluarga kita, teman sekolah, teman kantor, dan lain-lain.  Itu karena desain surgawi yang memiliki tujuan tertentu dengan menempatkan kita di situ. Dan sebagaimana pabrik smartphone menaruh spesifikasi yang sesuai dan aplikasi-aplikasi yang tepat untuk dapat mencapai tujuan mengapa smartphone tersebut dibuat maka saya percaya bahwa Tuhan pun merancang kita dengan spesifikasi yang tepat dan memperlengkapi kita dengan potensi-potensi yang sesuai agar dapat menjalankan peran kita secara efektif. Saudara sadarlah! Saudara memiliki potensi untuk menjadi sukses karena Tuhan sudah menempatkan potensi tersebut bukan di tempat yang jauh yang tidak dapat Saudara raih. Potensi tersebut ada di dalam Saudara dan yang kita perlukan hanya mengembangkannya. Karena panggilan dan peran kita unik, maka saya percaya Tuhan pun menaruh kombinasi potensi yang unik juga di dalam hidup kita. Tidak ada seorang pun yang memiliki kombinasi potensi serta fasilitas seperti kita karena Tuhan merancang semua yang kita punya untuk kasus kita dan agar kita dapat mengerjakan panggilan kita. Tidak ada yang sesuatu pun yang kurang di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkan potensi yang kita punya.
Ini berarti bahwa untuk dapat memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup kita, kita hanya harus berusaha untuk menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang lain, dan mengenali serta mengembangkan potensi yang Tuhan taruh di dalam hidup kita. Sekali lagi ingatlah ini: berusahalah untuk menjadi diri sendiri (be yourself). Terimalah dan cintailah diri kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena dengan cara itu, kita sedang menempati posisi kita untuk memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup kita. Namun, ini bukan berarti kita pasrah dan menolak untuk berkembang dan berubah. Tidak seperti itu! Kembangkanlah diri Saudara seluas-luasnya sejauh yang Saudara bisa namun tetaplah taruh di dalam pemikiran kita bahwa diri dan kemampuan kita unik, tidak sama dengan orang lain.
Dengan menyadari bahwa diri dan panggilan kita unik serta potensi yang Tuhan berikan kepada kita juga unik, kita sebenarnya telah setengah melangkah untuk mengatasi persoalan yang menghantui empowered people around: tidak rela melihat orang lain lebih berhasil daripada kita. Mengapa ini menjadi masalah? Karena selama persoalan ini masih menyangkut di benak kita, kita tidak akan membantu orang lain dengan sepenuh hati karena kita takut, dia akan lebih sukses dari kita.

Kompetisi vs koordinasi
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata telinga berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman? Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh. Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: "Aku tidak membutuhkan engkau." Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku tidak membutuhkan engkau."
I Kor 12:14-21

Apakah Saudara pernah mendengar tentang kisah teman dekat Saudara pada waktu sekolah atau kuliah sekarang telah menjadi orang yang sukses, terkenal, punya banyak uang padahal pada waktu menjadi teman Saudara beberapa waktu lalu kondisinya “lebih rendah” daripada Saudara? Saya ingin Saudara berhenti sebentar untuk mengingat kembali saat itu. Apa yang Saudara rasakan ketik mendengar kisah tersebut? Apakah Saudara merasa cemburu, marah, merasa kalah, mengasihani diri, atau ada perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hati Saudara yang tidak dapat Saudara jelaskan?
Kalau Saudara merasakan perasaan-perasaan tadi pikirkanlah betapa lucunya perasaan tersebut. Teman yang “sukses” tadi adalah teman yang pernah kita temui di salah satu masa hidup kita, entah di sekolah atau kuliah, dan sekarang bisa jadi tidak berhubungan langsung terhadap hidup kita namun kesuksesannya dapat membuat hati kita terganggu. Ga nyambung! Kalau kita meminjam istilah sehari-hari. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup kita?
Saya tidak menyalahkan Saudara jika merasakan perasaan-perasaan tersebut karena saya juga merasakan perasaan tersebut dan sebenarnya hal ini dapat dimaklumi. Kita dididik di dunia yang penuh dengan kompetisi, bahkan semenjak kecil, kita diajar untuk berkompetisi.
Di dalam keluarga, kita diajar untuk berkompetisi. Saya pernah datang ke suatu acara ulang tahun seorang anak dimana anak tersebut bersama dengan adiknya diminta untuk bernyanyi di depan para tamu. Pada saat bernyanyi, ternyata adiknya lebih keras menyanyi disertai dengan gerakan-gerakan yang lucu yang membuat para undangan tertawa terbahak-bahak, sedangkan kakaknya yang berulang tahun lebih banyak diam dan menyanyi dengan perlahan. Di akhir dari lagu tersebut, si adik seketika mendapat perhatian dari para undangan dengan mengatakan betapa lucu dan pintarnya dia. Kemudian ada seorang ibu yang berkata kepada si kakak,”Kamu nyanyinya biar kenceng dong tuh lihat adik kamu nyanyinya kenceng pake gerakan lagi. Kalo dia bisa kamu juga pasti bisa.” Saya hanya bisa merenung dalam hati dan bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh si kakak ketika dia dibandingkan secara langsung dengan adiknya itu. Ini hanyalah satu contoh kasus, saya percaya bahwa Saudara bisa menyebutkan kasus-kasus yang lain dimana orangtua memakai keberhasilan satu anak untuk “memotivasi” anak yang lain untuk mencapai keberhasilan yang sama malah jangan-jangan kita pun memakai tehnik ini untuk memotivasi anak kita. Sukar untuk disangkal bahwa kebanyakan dari kita belajar untuk berkompetisi semenjak dari kecil, di keluarga kita.
Di sekolah pun kondisinya tidak jauh berbeda. Murid yang menduduki peringkat pertama dijadikan contoh di kelas dengan tujuan supaya murid-murid yang lain mengikuti jejaknya. Di sekolah pun, kita diajar untuk berkompetisi. Jika Saudara adalah lulusan SLTA pada saat membaca buku ini, itu berarti Saudara setidaknya telah diajar untuk berkompetisi selama 12 tahun di sekolah. Bagaimana dengan di dunia kerja?
Di dunia kerja pun kondisinya tidak jauh berbeda. Satu jabatan manajer bisa diperebutkan oleh empat orang asisten manajer. Jenjang karir yang semakin lama semakin mengerucut memaksa para karyawan untuk bersaing dengan temannya untuk mencapai posisi tersebut. Ya, kita diajar untuk berkompetisi di dunia kerja. Bagaimana dengan di gereja? Setidaknya di gereja tidak ada kompetisi bukan?
Saya tidak akan menutupi fakta bahwa di gereja pun kita bisa jadi diajar untuk berkompetisi. Di sekolah minggu, anak kita dibandingkan dengan anak lain yang lebih pintar menggambar, lebih pintar menari, dan seterusnya. Kelompok vokal group kita dibandingkan dengan kelompok yang lain dan daftar ini bisa semakin panjang.
Singkatnya, di hampir seluruh bidang kehidupan kita diajar untuk berkompetisi. Ini terjadi karena banyak yang berpandangan bahwa kompetisi itu baik bahkan diperlukan untuk memotivasi seseorang agar orang tersebut dapat maju. Saya tidak menyangkal bahwa ada hal positif yang kita dapatkan dari kompetisi. Kompetisi dapat membuat seseorang termotivasi untuk maju tetapi kompetisi juga memiliki efek samping yang merugikan: kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Jangan salah paham! Membandingkan diri kita dengan orang lain tidak sama dengan belajar dari orang lain. Kita harus belajar dari orang lain bahkan meminta pertolongan dari orang lain agar potensi yang kita miliki semakin bertambah maju. Tetapi kompetisi bergerak pada arah yang berbeda. kita tidak rela dikalahkan oleh orang lain, dan jikalau di salah satu bidang orang lain mengalahkan kita maka kita akan belajar untuk mengalahkan orang itu. Permasalahannya adalah secara tidak sadar, sebagai hasil didikan selama berpuluh-puluh tahun, kita menjadi tidak suka jika orang lain lebih “hebat” daripada kita. Kita terusik ketika orang lain lebih “disorot” keberhasilannya daripada kita dan secara tidak sadar kita menganggap orang tersebut “saingan” kita. Kita tidak merasa secure akibatnya adalah kita tidak akan membantu orang tersebut untuk mencapai keberhasilannya.
Padahal sebagaimana telah kita bahas sebelumnya kita itu unik, tidak ada duanya dan orang lain itu pun unik. Bagaimana kita bisa membandingkan dua hal yang unik, yang berbeda satu dengan yang lainnya? Penilaian model apakah yang bisa kita pakai? Di sinilah letak kesalahan banyak orang, termasuk saya, karena memberikan penilaian yang sempit untuk membandingkan orang lain. Kita sering mendengar perkataan,”Kalau orang lain bisa, kamu pun pasti bisa” sebenarnya semakin saya merenungkan perkataan tersebut menjadi semakin tidak masuk akal jadinya, terutama di dalam konteks bahasan kita sekarang ini. Untuk memudahkan mari kita memakai analogi yang dipergunakan oleh Paulus untuk menggambarkan sebuah jemaat yaitu anggota tubuh.
Pada suatu waktu, seluruh anggota tubuh berkumpul untuk menentukan siapa yang terbaik di antara mereka. Karena di dalam diskusi yang panas, mereka tidak mencapai konsensus siapa yang terbaik maka mereka memutuskan untuk mengadakan perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik. Agar penilaian dapat berlangsung secara jujur dan adil, maka para anggota tubuh meminta seekor burung hantu yang terkenal bijaksana untuk menjadi juri pada pertandingan tersebut. Mengetahui permintaan yang aneh ini, burung hantu menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Setelah berpikir semalaman, dia mendapat jalan keluar yang baik. Di hadapan semua anggota tubuh, burung hantu menekankan bahwa dia harus berhati-hati untuk memilih ketua yang baik oleh karena itu dia akan mengadakan puluhan perlombaan untuk mencari siapa yang terbaik. Anggota tubuh yang berhasil memenangkan semuanya, dialah yang terbaik. Seluruh anggota tubuh setuju dengan pemikiran si burung hantu. Maka disiapkanlah perlombaan-perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik. Perlombaan pertama adalah perlombaan melihat dan saya yakin Saudara tahu siapa yang menjadi pemenang di perlombaan ini: mata. Perlombaan kedua adalah perlombaan siapa yang dapat berlari lebih cepat dan pemenangnya adalah kaki. Perlombaan ketiga adalah perlombaan siapa yang dapat mendengar lebih baik dan pemenangnya adalah telinga. Perlombaan keempat adalah siapa yang dapat menggenggam lebih erat, dan pemenangnya adalah tangan. Demikianlah seterusnya hingga seluruh anggota tubuh memenangkan sesuatu karena si burung hantu dengan jeli melihat kelebihan anggota tubuh tertentu lalu mengadakan perlombaan untuk membuat anggota tubuh tersebut menjadi juara. Di akhir perlombaan, seluruh anggota tubuh memenangkan satu pertandingan, pertandingan dimana potensi mereka yang terbaiklah yang menjadi unsur penilaian. Melalui perlombaan ini, para anggota tubuh menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan semuanya sendiri dan mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Pelajaran apakah yang bisa kita tarik dari kisah di atas? Yang pertama, kita tidak dapat dan tidak bisa membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita tidak dapat membandingkan orang secara apple to apple. Setiap orang memiliki kombinasi kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian standar yang dipergunakan untuk menilai akan membuat seseorang yang handal dalam standar tersebut akan menjadi pemenangnya. Seperti cerita di atas, jikalau perlombaan yang dipertandingkan adalah melihat maka matalah yang akan menjadi pemenangnya demikian seterusnya tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mata menjadi yang terbaik.
Permasalahannya adalah kita seringkali terlalu menekankan satu penilaian seakan-akan hanya penilaian itulah yang penting. Ambil contoh di sekolah, mereka yang memiliki kelebihan secara akademis akan unggul dalam bidang ini tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mereka yang handal dalam olahraga atau seni atau linguistik tidak baik. Mereka kelihatan tidak unggul karena standar penilaian yang dipergunakan. Jikalau standar yang dipakai adalah seni, maka mereka yang unggul dalam bidang senilah yang menonjol, demikian seterusnya. Oleh karena itu, penilaian mengenai siapa yang terbaik bersifat subyektif.
Yang kedua adalah sebagaimana dijelaskan oleh Paulus, di dalam tubuh kristus, tidak ada kompetisi, yang ada hanya kerjasama antara yang satu dengan yang lain karena sebagaimana anggota tubuh, yang satu melengkapi yang lain. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing tempat secara khusus agar kita dapat menunaikan tugas kita dengan efektif. Lagipula kita semua bertanding di jalan kita sendiri-sendiri.

Kita bertanding di pertandingan kita sendiri
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.
II Timotius 4:7-8

Pada akhir masa hidupnya, Paulus mengatakan bahwa dia telah menyelesaikan pertandingan dengan baik dan saya percaya yang dia maksud dengan pertandingan di sini bukanlah perlombaan antara dia, Petrus, Apolos atau Yohanes tetapi pertandingan hidup dia sendiri. Mari kita mengulang sedikit apa yang telah kita pelajari: kita unik dan karena kita unik, peran dan panggilan kita pun unik, dan karena peran dan panggilan kita unik, Tuhan memperlengkapi kita juga secara unik agar kita dapat menjalankan panggilan kita secara efektif dan karena semua itu, pertandingan kita juga secara otomatis unik. Kita bertanding di pertandingan kita sendiri, tidak ada saingan.
Dan karena Paulus berbicara mengenai pertandingan, mari kita memakai analogi dalam bidang olahraga. Seandainya saja ada dua orang, sebut saja A dan B. Si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis sedangkan si B menjadi pemain sepakbola. Karena si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis maka Tuhan memperlengkapi dia dengan kok, raket, dan lapangan yang sesuai dengan perannya. Sedangkan si B sebagai pemain sepakbola akan diperlengkapi oleh Tuhan dengan sepatu bola, bola sepak dan lapangan yang cukup besar untuk bermain sepakbola. Sebagaimana yang sudah kita bahas di atas, Tuhan sudah memperlengkapi kita dengan apa yang kita butuhkan sebagaimana Tuhan memperlengkapi si A dan B. Yang menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis mulai melihat ke si B, lalu mulai mengeluh kepada Tuhan karena dia hanya diberikan kok bukannya bola sepak dan lapangan tempat bermain dia kecil tidak seperti lapangan sepakbola. Begitu juga dengan si B, ketika dia melihat si A, si B mulai merasa iri karena si A punya raket sedangkan dia tidak. Bagaimana kalau Tuhan “iseng” dan mengabulkan doa si A dan B. Tahukah Saudara betapa sulitnya bermain bulutangkis jikalau koknya adalah bola sepak dan bermain di lapangan sepakbola? Sama sulitnya dengan bermain sepakbola dengan tangan memegang raket bulutangkis. Ingatlah ini, orang yang iri terhadap sesamanya adalah seperti atlit bulutangkis yang ingin punya bola sepak atau atlit sepakbola ingin memiliki raket. Padahal Tuhan sudah memperlengkapi kita dengan apa yang kita butuhkan agar dapat menjalankan tugas kita dengan efektif, potensinya sudah ada di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkannya. Oleh karena itu, jikalau ada si C yang berkata,”mengapa saya tidak terlahir ganteng/cantik dan kaya seperti dia?” jawabannya adalah karena dia memerlukan amunisi tambahan berupa wajah yang rupawan dan kekayaan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif sedangkan si C dengan wajah yang biasa saja dan penghasilan yang cukup dapat menjalankan perannya dengan efektif. Jikalau si D berkata,”Mengapa saya tidak sepintar dia” jawabannya adalah karena dia perlu kepintaran model itu agar dapat menjalankan perannya di dunia ini sedangkan si D diberikan oleh Tuhan kepintaran yang lain.
Yang juga menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis, tidak rela menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi pemain sepakbola sehingga dia menyesali diri, tidak menerima keadaannya sekarang ini. Saudara, iri dengan keadaan orang lain bahkan ingin berada di posisi orang lain tidak akan membantu kita untuk menjalankan fungsi kita secara efektif. Terimalah diri kita apa adanya, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain karena kita bertanding di jalan kita sendiri bukan di jalan orang lain.

Meng-empowered others
Nah, kalau Saudara mengerti bahwa setiap orang unik dan kita bertanding di jalan kita sendiri maka sekarang kita lebih siap untuk meng-empowered orang lain. Kita tidak akan iri terhadap keberhasilan orang lain bahkan sebaliknya kita akan bersukacita melihat orang lain berhasil karena orang tersebut telah menjadi sukses di pertandingannya dan kita yang bertanding di jalan kita sendiri akan termotivasi untuk sukses di pertandingan kita sendiri.
Sekarang lihatlah dari sudut pandang yang berbeda, ketika kita meng-empowered orang lain, kita sesungguhnya sedang membantu satu bagian tubuh Kristus mencapai potensi maksimalnya. Dan apabila dia mencapai potensi maksimalnya, seluruh tubuh Kristus memperoleh manfaatnya.
Namun jangan keliru, walaupun kita unik, kita dipanggil oleh Tuhan untuk hidup berkomunitas. Kita adalah satu bagian puzzle yang melengkapi bagian tubuh Kristus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar