Apa yang terlintas di dalam benak Saudara ketika
mendengar kata empowering? Bisa jadi yang terlintas adalah Saudara sedang
menguatkan orang lain dan membantu mereka untuk mencapai potensi mereka. Namun
sebelum hal itu terjadi kita harus memahami dasar dari meng-empowered orang
lain. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebelum kita mengenal dan menerima diri
kita sendiri, kita tidak akan pernah merasa secure
dan akibatnya kita juga tidak akan pernah dapat meng-empowered orang lain
dengan maksimal. Hubungan kita dengan orang lain akan selalu dipenuhi oleh
motif-motif tertentu yang membuat kita tidak bebas untuk melihat orang lain apa
adanya dan mengasihi mereka. Oleh karena itu, sebelum kita mulai membahas untuk
meng-empowered orang lain, kita harus belajar untuk mengenal diri kita terlebih
dahulu.
Setiap orang unik, memiliki panggilan yang
unik, dan diperlengkapi dengan unik
Firman TUHAN datang kepadaku,
bunyinya:"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah
mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah
menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi
bangsa-bangsa."
Yeremia 1:4-5
Sebelum kita melanjutkan pembahasan kita, berhentilah
sebentar untuk merenungkan kebenaran ayat di atas. Tuhan telah mengenal kita
sejak permulaan bahkan sebelum kita ada. Bukankah ini sesuatu hal yang luar
biasa! Kita ada di dalam pikiran Allah sejak permulaan dan Dia menyertai kita
bahkan sebelum dunia ini dijadikan.
Saya percaya bahwa Tuhan, sebagaimana pada kasus
Yeremia, juga telah menetapkan kita untuk menjalankan fungsi dan peran kita di
dunia ini. bagi Yeremia, perannya adalah seorang nabi, namun bagi kita perannya
mungkin berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang itu unik. Mengapa bisa
unik? Jawabannya sederhana karena setiap orang diperhadapkan kepada lingkungan
dan masalah yang berbeda. Mari kita ambil contoh sederhana: saya dan Saudara
berbeda keluarga. Dengan satu faktor pembeda ini saja sudah membuat peran saya
unik dari peran Saudara karena kondisi keluarga saya berbeda dengan kondisi
keluara Saudara. Dengan demikian peran dan fungsi saya di dunia secara otomatis
berbeda dari Saudara. Tapi bagaimana dengan saudara kandung saya? bukankah
mereka berada dalam satu keluarga dengan saya? Ya, kita memang berada dalam
satu keluarga tapi apakah itu berarti bahwa saya dan saudara kandung saya
memiliki peran dan fungsi yang identik di dalam keluarga kami? Jawabannya adalah
tidak! Bahkan saudara kandung pun memiliki peran dan fungsi yang berbeda di
dalam keluarga. Kita baru memperhitungkan satu faktor yaitu keluarga, sekarang
tambahkan faktor keluarga tersebut dengan faktor lainnya seperti faktor teman
sekolah, rekan kerja, permasalahan yang berbeda, dan seterusnya. Ringkasnya
tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghadapi persoalan yang kita hadapi
dan berada di posisi kita sekarang ini. Peran kita benar-benar unik dan tiada
duanya.
Karena peran dan fungsi kita unik dan tiada duanya,
rasanya tidaklah berlebihan kalau saya mengatakan bahwa panggilan kita pun
secara otomatis menjadi unik. Kita didesain oleh Tuhan untuk dapat memenuhi
peran kita: untuk memberikan dampak atau pengaruh yang baik bagi keluarga,
teman-teman, dan lingkungan di mana kita berada dan saya percaya kalau Tuhan
mengutus kita untuk melakukan sesuatu maka dia akan memperlengkapi kita untuk
dapat mengerjakan bagian kita dengan efektif
Tuhan memperlengkapi kita agar kita dapat mengerjakan
perbuatan baik yang Tuhan telah tetapkan untuk kita (Efesus 2:10). Saudara
percayalah bahwa seluruh potensi yang dapat membantu kita untuk dapat
mengerjakan tugas kita secara efektif telah Tuhan tanamkan di dalam diri kita.
Saya memiliki sebuah smartphone yang cukup membantu
saya di dalam berkomunikasi maupun di dalam mengerjakan tugas-tugas saya yang
lain. Saya percaya bahwa perusahaan smartphone ini telah memperhitungkan
sebelumnya apa yang bisa dilakukan oleh smartphone ini. Mereka menentukan
segmen pasar apa yang dituju, apa yang dibutuhkan oleh segmen pasa tersebut,
dan apa yang membuat smartphone tersebut berbeda dari smartphone yang lain.
Kemudian mereka mendesain, membuat spesifikasi yang dibutuhkan serta memasukkan
aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan agar dapat menjawab kebutuhan segmen pasar
yang dituju. Fakta bahwa smartphone ini ada di tangan saya sekarang adalah
bukti sudah ada desain sebelumnya dan seluruh proses di atas sudah dilalui.
Demikian juga halnya dengan kita. Fakta bahwa kita
ada adalah bukti bahwa tuhan sudah mendesain kita sebelumnya untuk memenuhi
suatu tujuan tertentu. Itulah panggilan kita. Bukan suatu kebetulan kita berada
di tempat kita sekarang ini: di tengah keluarga kita, teman sekolah, teman
kantor, dan lain-lain. Itu karena desain
surgawi yang memiliki tujuan tertentu dengan menempatkan kita di situ. Dan
sebagaimana pabrik smartphone menaruh spesifikasi yang sesuai dan
aplikasi-aplikasi yang tepat untuk dapat mencapai tujuan mengapa smartphone
tersebut dibuat maka saya percaya bahwa Tuhan pun merancang kita dengan
spesifikasi yang tepat dan memperlengkapi kita dengan potensi-potensi yang
sesuai agar dapat menjalankan peran kita secara efektif. Saudara sadarlah!
Saudara memiliki potensi untuk menjadi sukses karena Tuhan sudah menempatkan potensi
tersebut bukan di tempat yang jauh yang tidak dapat Saudara raih. Potensi
tersebut ada di dalam Saudara dan yang kita perlukan hanya mengembangkannya.
Karena panggilan dan peran kita unik, maka saya percaya Tuhan pun menaruh
kombinasi potensi yang unik juga di dalam hidup kita. Tidak ada seorang pun
yang memiliki kombinasi potensi serta fasilitas seperti kita karena Tuhan
merancang semua yang kita punya untuk kasus kita dan agar kita dapat
mengerjakan panggilan kita. Tidak ada yang sesuatu pun yang kurang di dalam
diri kita, kita hanya perlu mengembangkan potensi yang kita punya.
Ini berarti bahwa untuk dapat memenuhi panggilan
Tuhan di dalam hidup kita, kita hanya harus berusaha untuk menjadi diri
sendiri, bukan menjadi orang lain, dan mengenali serta mengembangkan potensi
yang Tuhan taruh di dalam hidup kita. Sekali lagi ingatlah ini: berusahalah
untuk menjadi diri sendiri (be yourself). Terimalah dan cintailah diri kita apa
adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena dengan cara itu, kita
sedang menempati posisi kita untuk memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup
kita. Namun, ini bukan berarti kita pasrah dan menolak untuk berkembang dan
berubah. Tidak seperti itu! Kembangkanlah diri Saudara seluas-luasnya sejauh
yang Saudara bisa namun tetaplah taruh di dalam pemikiran kita bahwa diri dan
kemampuan kita unik, tidak sama dengan orang lain.
Dengan menyadari bahwa diri dan panggilan kita unik
serta potensi yang Tuhan berikan kepada kita juga unik, kita sebenarnya telah
setengah melangkah untuk mengatasi persoalan yang menghantui empowered people around: tidak rela melihat orang lain lebih berhasil
daripada kita. Mengapa ini menjadi masalah? Karena selama persoalan ini
masih menyangkut di benak kita, kita tidak akan membantu orang lain dengan
sepenuh hati karena kita takut, dia akan lebih sukses dari kita.
Kompetisi vs koordinasi
Karena
tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota.
Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk
tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata telinga
berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh", jadi
benarkah ia tidak termasuk tubuh? Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di
manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?
Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus,
suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya
adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya
satu tubuh. Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: "Aku tidak
membutuhkan engkau." Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku
tidak membutuhkan engkau."
I Kor
12:14-21
Apakah Saudara pernah mendengar tentang kisah teman
dekat Saudara pada waktu sekolah atau kuliah sekarang telah menjadi orang yang
sukses, terkenal, punya banyak uang padahal pada waktu menjadi teman Saudara
beberapa waktu lalu kondisinya “lebih rendah” daripada Saudara? Saya ingin
Saudara berhenti sebentar untuk mengingat kembali saat itu. Apa yang Saudara
rasakan ketik mendengar kisah tersebut? Apakah Saudara merasa cemburu, marah,
merasa kalah, mengasihani diri, atau ada perasaan campur aduk yang berkecamuk
di dalam hati Saudara yang tidak dapat Saudara jelaskan?
Kalau Saudara merasakan perasaan-perasaan tadi
pikirkanlah betapa lucunya perasaan tersebut. Teman yang “sukses” tadi adalah
teman yang pernah kita temui di salah satu masa hidup kita, entah di sekolah
atau kuliah, dan sekarang bisa jadi tidak berhubungan langsung terhadap hidup
kita namun kesuksesannya dapat membuat hati kita terganggu. Ga nyambung! Kalau kita meminjam istilah
sehari-hari. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup kita?
Saya tidak menyalahkan Saudara jika merasakan
perasaan-perasaan tersebut karena saya juga merasakan perasaan tersebut dan
sebenarnya hal ini dapat dimaklumi. Kita dididik di dunia yang penuh dengan
kompetisi, bahkan semenjak kecil, kita diajar untuk berkompetisi.
Di dalam keluarga, kita diajar untuk berkompetisi.
Saya pernah datang ke suatu acara ulang tahun seorang anak dimana anak tersebut
bersama dengan adiknya diminta untuk bernyanyi di depan para tamu. Pada saat
bernyanyi, ternyata adiknya lebih keras menyanyi disertai dengan
gerakan-gerakan yang lucu yang membuat para undangan tertawa terbahak-bahak,
sedangkan kakaknya yang berulang tahun lebih banyak diam dan menyanyi dengan
perlahan. Di akhir dari lagu tersebut, si adik seketika mendapat perhatian dari
para undangan dengan mengatakan betapa lucu dan pintarnya dia. Kemudian ada
seorang ibu yang berkata kepada si kakak,”Kamu nyanyinya biar kenceng dong tuh
lihat adik kamu nyanyinya kenceng pake gerakan lagi. Kalo dia bisa kamu juga
pasti bisa.” Saya hanya bisa merenung dalam hati dan bertanya-tanya apa yang
dirasakan oleh si kakak ketika dia dibandingkan secara langsung dengan adiknya
itu. Ini hanyalah satu contoh kasus, saya percaya bahwa Saudara bisa
menyebutkan kasus-kasus yang lain dimana orangtua memakai keberhasilan satu
anak untuk “memotivasi” anak yang lain untuk mencapai keberhasilan yang sama
malah jangan-jangan kita pun memakai tehnik ini untuk memotivasi anak kita.
Sukar untuk disangkal bahwa kebanyakan dari kita belajar untuk berkompetisi
semenjak dari kecil, di keluarga kita.
Di sekolah pun kondisinya tidak jauh berbeda. Murid
yang menduduki peringkat pertama dijadikan contoh di kelas dengan tujuan supaya
murid-murid yang lain mengikuti jejaknya. Di sekolah pun, kita diajar untuk
berkompetisi. Jika Saudara adalah lulusan SLTA pada saat membaca buku ini, itu
berarti Saudara setidaknya telah diajar untuk berkompetisi selama 12 tahun di
sekolah. Bagaimana dengan di dunia kerja?
Di dunia kerja pun kondisinya tidak jauh berbeda.
Satu jabatan manajer bisa diperebutkan oleh empat orang asisten manajer.
Jenjang karir yang semakin lama semakin mengerucut memaksa para karyawan untuk
bersaing dengan temannya untuk mencapai posisi tersebut. Ya, kita diajar untuk
berkompetisi di dunia kerja. Bagaimana dengan di gereja? Setidaknya di gereja
tidak ada kompetisi bukan?
Saya tidak akan menutupi fakta bahwa di gereja pun
kita bisa jadi diajar untuk berkompetisi. Di sekolah minggu, anak kita
dibandingkan dengan anak lain yang lebih pintar menggambar, lebih pintar
menari, dan seterusnya. Kelompok vokal group kita dibandingkan dengan kelompok
yang lain dan daftar ini bisa semakin panjang.
Singkatnya, di hampir seluruh bidang kehidupan kita
diajar untuk berkompetisi. Ini terjadi karena banyak yang berpandangan bahwa
kompetisi itu baik bahkan diperlukan untuk memotivasi seseorang agar orang
tersebut dapat maju. Saya tidak menyangkal bahwa ada hal positif yang kita
dapatkan dari kompetisi. Kompetisi dapat membuat seseorang termotivasi untuk
maju tetapi kompetisi juga memiliki efek samping yang merugikan: kita
membandingkan diri kita dengan orang lain. Jangan salah paham! Membandingkan
diri kita dengan orang lain tidak sama dengan belajar dari orang lain. Kita
harus belajar dari orang lain bahkan meminta pertolongan dari orang lain agar
potensi yang kita miliki semakin bertambah maju. Tetapi kompetisi bergerak pada
arah yang berbeda. kita tidak rela dikalahkan oleh orang lain, dan jikalau di
salah satu bidang orang lain mengalahkan kita maka kita akan belajar untuk
mengalahkan orang itu. Permasalahannya adalah secara tidak sadar, sebagai hasil
didikan selama berpuluh-puluh tahun, kita menjadi tidak suka jika orang lain
lebih “hebat” daripada kita. Kita terusik ketika orang lain lebih “disorot”
keberhasilannya daripada kita dan secara tidak sadar kita menganggap orang
tersebut “saingan” kita. Kita tidak merasa secure
akibatnya adalah kita tidak akan membantu orang tersebut untuk mencapai
keberhasilannya.
Padahal sebagaimana telah kita bahas sebelumnya kita
itu unik, tidak ada duanya dan orang lain itu pun unik. Bagaimana kita bisa
membandingkan dua hal yang unik, yang berbeda satu dengan yang lainnya?
Penilaian model apakah yang bisa kita pakai? Di sinilah letak kesalahan banyak
orang, termasuk saya, karena memberikan penilaian yang sempit untuk
membandingkan orang lain. Kita sering mendengar perkataan,”Kalau orang lain
bisa, kamu pun pasti bisa” sebenarnya semakin saya merenungkan perkataan
tersebut menjadi semakin tidak masuk akal jadinya, terutama di dalam konteks
bahasan kita sekarang ini. Untuk memudahkan mari kita memakai analogi yang
dipergunakan oleh Paulus untuk menggambarkan sebuah jemaat yaitu anggota tubuh.
Pada suatu waktu, seluruh anggota tubuh berkumpul
untuk menentukan siapa yang terbaik di antara mereka. Karena di dalam diskusi
yang panas, mereka tidak mencapai konsensus siapa yang terbaik maka mereka
memutuskan untuk mengadakan perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik.
Agar penilaian dapat berlangsung secara jujur dan adil, maka para anggota tubuh
meminta seekor burung hantu yang terkenal bijaksana untuk menjadi juri pada
pertandingan tersebut. Mengetahui permintaan yang aneh ini, burung hantu
menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Setelah berpikir semalaman, dia
mendapat jalan keluar yang baik. Di hadapan semua anggota tubuh, burung hantu
menekankan bahwa dia harus berhati-hati untuk memilih ketua yang baik oleh
karena itu dia akan mengadakan puluhan perlombaan untuk mencari siapa yang
terbaik. Anggota tubuh yang berhasil memenangkan semuanya, dialah yang terbaik.
Seluruh anggota tubuh setuju dengan pemikiran si burung hantu. Maka
disiapkanlah perlombaan-perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik.
Perlombaan pertama adalah perlombaan melihat dan saya yakin Saudara tahu siapa
yang menjadi pemenang di perlombaan ini: mata. Perlombaan kedua adalah
perlombaan siapa yang dapat berlari lebih cepat dan pemenangnya adalah kaki.
Perlombaan ketiga adalah perlombaan siapa yang dapat mendengar lebih baik dan
pemenangnya adalah telinga. Perlombaan keempat adalah siapa yang dapat
menggenggam lebih erat, dan pemenangnya adalah tangan. Demikianlah seterusnya
hingga seluruh anggota tubuh memenangkan sesuatu karena si burung hantu dengan
jeli melihat kelebihan anggota tubuh tertentu lalu mengadakan perlombaan untuk
membuat anggota tubuh tersebut menjadi juara. Di akhir perlombaan, seluruh
anggota tubuh memenangkan satu pertandingan, pertandingan dimana potensi mereka
yang terbaiklah yang menjadi unsur penilaian. Melalui perlombaan ini, para
anggota tubuh menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan semuanya sendiri dan
mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Pelajaran apakah yang bisa kita tarik dari kisah di
atas? Yang pertama, kita tidak dapat dan tidak bisa membandingkan diri kita
dengan orang lain. Kita tidak dapat membandingkan orang secara apple to apple. Setiap orang memiliki
kombinasi kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan
demikian standar yang dipergunakan untuk menilai akan membuat seseorang yang
handal dalam standar tersebut akan menjadi pemenangnya. Seperti cerita di atas,
jikalau perlombaan yang dipertandingkan adalah melihat maka matalah yang akan
menjadi pemenangnya demikian seterusnya tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan
mata menjadi yang terbaik.
Permasalahannya adalah kita seringkali terlalu menekankan
satu penilaian seakan-akan hanya penilaian itulah yang penting. Ambil contoh di
sekolah, mereka yang memiliki kelebihan secara akademis akan unggul dalam
bidang ini tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mereka yang handal dalam
olahraga atau seni atau linguistik tidak baik. Mereka kelihatan tidak unggul
karena standar penilaian yang dipergunakan. Jikalau standar yang dipakai adalah
seni, maka mereka yang unggul dalam bidang senilah yang menonjol, demikian
seterusnya. Oleh karena itu, penilaian mengenai siapa yang terbaik bersifat subyektif.
Yang kedua adalah sebagaimana dijelaskan oleh Paulus,
di dalam tubuh kristus, tidak ada kompetisi, yang ada hanya kerjasama antara
yang satu dengan yang lain karena sebagaimana anggota tubuh, yang satu
melengkapi yang lain. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing tempat
secara khusus agar kita dapat menunaikan tugas kita dengan efektif. Lagipula
kita semua bertanding di jalan kita sendiri-sendiri.
Kita bertanding di pertandingan kita sendiri
Aku
telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku
telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang
akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan
hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan
kedatangan-Nya.
II Timotius 4:7-8
Pada akhir masa hidupnya, Paulus mengatakan bahwa dia
telah menyelesaikan pertandingan dengan baik dan saya percaya yang dia maksud
dengan pertandingan di sini bukanlah perlombaan antara dia, Petrus, Apolos atau
Yohanes tetapi pertandingan hidup dia sendiri. Mari kita mengulang sedikit apa
yang telah kita pelajari: kita unik dan karena kita unik, peran dan panggilan
kita pun unik, dan karena peran dan panggilan kita unik, Tuhan memperlengkapi
kita juga secara unik agar kita dapat menjalankan panggilan kita secara efektif
dan karena semua itu, pertandingan kita juga secara otomatis unik. Kita
bertanding di pertandingan kita sendiri, tidak ada saingan.
Dan karena Paulus berbicara mengenai pertandingan,
mari kita memakai analogi dalam bidang olahraga. Seandainya saja ada dua orang,
sebut saja A dan B. Si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis sedangkan si B
menjadi pemain sepakbola. Karena si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis
maka Tuhan memperlengkapi dia dengan kok, raket, dan lapangan yang sesuai
dengan perannya. Sedangkan si B sebagai pemain sepakbola akan diperlengkapi
oleh Tuhan dengan sepatu bola, bola sepak dan lapangan yang cukup besar untuk bermain
sepakbola. Sebagaimana yang sudah kita bahas di atas, Tuhan sudah
memperlengkapi kita dengan apa yang kita butuhkan sebagaimana Tuhan
memperlengkapi si A dan B. Yang menjadi masalah adalah ketika si A, pemain
bulutangkis mulai melihat ke si B, lalu mulai mengeluh kepada Tuhan karena dia
hanya diberikan kok bukannya bola sepak dan lapangan tempat bermain dia kecil
tidak seperti lapangan sepakbola. Begitu juga dengan si B, ketika dia melihat
si A, si B mulai merasa iri karena si A punya raket sedangkan dia tidak.
Bagaimana kalau Tuhan “iseng” dan mengabulkan doa si A dan B. Tahukah Saudara
betapa sulitnya bermain bulutangkis jikalau koknya adalah bola sepak dan
bermain di lapangan sepakbola? Sama sulitnya dengan bermain sepakbola dengan
tangan memegang raket bulutangkis. Ingatlah ini, orang yang iri terhadap
sesamanya adalah seperti atlit bulutangkis yang ingin punya bola sepak atau
atlit sepakbola ingin memiliki raket. Padahal Tuhan sudah memperlengkapi kita
dengan apa yang kita butuhkan agar dapat menjalankan tugas kita dengan efektif,
potensinya sudah ada di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkannya.
Oleh karena itu, jikalau ada si C yang berkata,”mengapa saya tidak terlahir
ganteng/cantik dan kaya seperti dia?” jawabannya adalah karena dia memerlukan
amunisi tambahan berupa wajah yang rupawan dan kekayaan untuk dapat menjalankan
tugasnya dengan efektif sedangkan si C dengan wajah yang biasa saja dan
penghasilan yang cukup dapat menjalankan perannya dengan efektif. Jikalau si D
berkata,”Mengapa saya tidak sepintar dia” jawabannya adalah karena dia perlu
kepintaran model itu agar dapat menjalankan perannya di dunia ini sedangkan si
D diberikan oleh Tuhan kepintaran yang lain.
Yang juga menjadi masalah adalah ketika si A, pemain
bulutangkis, tidak rela menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi pemain
sepakbola sehingga dia menyesali diri, tidak menerima keadaannya sekarang ini.
Saudara, iri dengan keadaan orang lain bahkan ingin berada di posisi orang lain
tidak akan membantu kita untuk menjalankan fungsi kita secara efektif.
Terimalah diri kita apa adanya, jangan membandingkan diri kita dengan orang
lain karena kita bertanding di jalan kita sendiri bukan di jalan orang lain.
Meng-empowered others
Nah, kalau Saudara mengerti bahwa setiap orang unik
dan kita bertanding di jalan kita sendiri maka sekarang kita lebih siap untuk
meng-empowered orang lain. Kita tidak akan iri terhadap keberhasilan orang lain
bahkan sebaliknya kita akan bersukacita melihat orang lain berhasil karena
orang tersebut telah menjadi sukses di pertandingannya dan kita yang bertanding
di jalan kita sendiri akan termotivasi untuk sukses di pertandingan kita
sendiri.
Sekarang lihatlah dari sudut pandang yang berbeda,
ketika kita meng-empowered orang lain, kita sesungguhnya sedang membantu satu
bagian tubuh Kristus mencapai potensi maksimalnya. Dan apabila dia mencapai
potensi maksimalnya, seluruh tubuh Kristus memperoleh manfaatnya.
Namun jangan keliru, walaupun kita unik, kita dipanggil
oleh Tuhan untuk hidup berkomunitas. Kita adalah satu bagian puzzle yang melengkapi bagian tubuh
Kristus.