Jumat, 22 Agustus 2014

Mengenal Diri

Apa yang terlintas di dalam benak Saudara ketika mendengar kata empowering? Bisa jadi yang terlintas adalah Saudara sedang menguatkan orang lain dan membantu mereka untuk mencapai potensi mereka. Namun sebelum hal itu terjadi kita harus memahami dasar dari meng-empowered orang lain. Sesungguhnya yang terjadi adalah sebelum kita mengenal dan menerima diri kita sendiri, kita tidak akan pernah merasa secure dan akibatnya kita juga tidak akan pernah dapat meng-empowered orang lain dengan maksimal. Hubungan kita dengan orang lain akan selalu dipenuhi oleh motif-motif tertentu yang membuat kita tidak bebas untuk melihat orang lain apa adanya dan mengasihi mereka. Oleh karena itu, sebelum kita mulai membahas untuk meng-empowered orang lain, kita harus belajar untuk mengenal diri kita terlebih dahulu.

Setiap orang unik, memiliki panggilan yang unik, dan diperlengkapi dengan unik
Firman TUHAN datang kepadaku, bunyinya:"Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa."
Yeremia 1:4-5

Sebelum kita melanjutkan pembahasan kita, berhentilah sebentar untuk merenungkan kebenaran ayat di atas. Tuhan telah mengenal kita sejak permulaan bahkan sebelum kita ada. Bukankah ini sesuatu hal yang luar biasa! Kita ada di dalam pikiran Allah sejak permulaan dan Dia menyertai kita bahkan sebelum dunia ini dijadikan.
Saya percaya bahwa Tuhan, sebagaimana pada kasus Yeremia, juga telah menetapkan kita untuk menjalankan fungsi dan peran kita di dunia ini. bagi Yeremia, perannya adalah seorang nabi, namun bagi kita perannya mungkin berbeda. Hal ini terjadi karena setiap orang itu unik. Mengapa bisa unik? Jawabannya sederhana karena setiap orang diperhadapkan kepada lingkungan dan masalah yang berbeda. Mari kita ambil contoh sederhana: saya dan Saudara berbeda keluarga. Dengan satu faktor pembeda ini saja sudah membuat peran saya unik dari peran Saudara karena kondisi keluarga saya berbeda dengan kondisi keluara Saudara. Dengan demikian peran dan fungsi saya di dunia secara otomatis berbeda dari Saudara. Tapi bagaimana dengan saudara kandung saya? bukankah mereka berada dalam satu keluarga dengan saya? Ya, kita memang berada dalam satu keluarga tapi apakah itu berarti bahwa saya dan saudara kandung saya memiliki peran dan fungsi yang identik di dalam keluarga kami? Jawabannya adalah tidak! Bahkan saudara kandung pun memiliki peran dan fungsi yang berbeda di dalam keluarga. Kita baru memperhitungkan satu faktor yaitu keluarga, sekarang tambahkan faktor keluarga tersebut dengan faktor lainnya seperti faktor teman sekolah, rekan kerja, permasalahan yang berbeda, dan seterusnya. Ringkasnya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menghadapi persoalan yang kita hadapi dan berada di posisi kita sekarang ini. Peran kita benar-benar unik dan tiada duanya.
Karena peran dan fungsi kita unik dan tiada duanya, rasanya tidaklah berlebihan kalau saya mengatakan bahwa panggilan kita pun secara otomatis menjadi unik. Kita didesain oleh Tuhan untuk dapat memenuhi peran kita: untuk memberikan dampak atau pengaruh yang baik bagi keluarga, teman-teman, dan lingkungan di mana kita berada dan saya percaya kalau Tuhan mengutus kita untuk melakukan sesuatu maka dia akan memperlengkapi kita untuk dapat mengerjakan bagian kita dengan efektif
Tuhan memperlengkapi kita agar kita dapat mengerjakan perbuatan baik yang Tuhan telah tetapkan untuk kita (Efesus 2:10). Saudara percayalah bahwa seluruh potensi yang dapat membantu kita untuk dapat mengerjakan tugas kita secara efektif telah Tuhan tanamkan di dalam diri kita.
Saya memiliki sebuah smartphone yang cukup membantu saya di dalam berkomunikasi maupun di dalam mengerjakan tugas-tugas saya yang lain. Saya percaya bahwa perusahaan smartphone ini telah memperhitungkan sebelumnya apa yang bisa dilakukan oleh smartphone ini. Mereka menentukan segmen pasar apa yang dituju, apa yang dibutuhkan oleh segmen pasa tersebut, dan apa yang membuat smartphone tersebut berbeda dari smartphone yang lain. Kemudian mereka mendesain, membuat spesifikasi yang dibutuhkan serta memasukkan aplikasi-aplikasi yang dibutuhkan agar dapat menjawab kebutuhan segmen pasar yang dituju. Fakta bahwa smartphone ini ada di tangan saya sekarang adalah bukti sudah ada desain sebelumnya dan seluruh proses di atas sudah dilalui.
Demikian juga halnya dengan kita. Fakta bahwa kita ada adalah bukti bahwa tuhan sudah mendesain kita sebelumnya untuk memenuhi suatu tujuan tertentu. Itulah panggilan kita. Bukan suatu kebetulan kita berada di tempat kita sekarang ini: di tengah keluarga kita, teman sekolah, teman kantor, dan lain-lain.  Itu karena desain surgawi yang memiliki tujuan tertentu dengan menempatkan kita di situ. Dan sebagaimana pabrik smartphone menaruh spesifikasi yang sesuai dan aplikasi-aplikasi yang tepat untuk dapat mencapai tujuan mengapa smartphone tersebut dibuat maka saya percaya bahwa Tuhan pun merancang kita dengan spesifikasi yang tepat dan memperlengkapi kita dengan potensi-potensi yang sesuai agar dapat menjalankan peran kita secara efektif. Saudara sadarlah! Saudara memiliki potensi untuk menjadi sukses karena Tuhan sudah menempatkan potensi tersebut bukan di tempat yang jauh yang tidak dapat Saudara raih. Potensi tersebut ada di dalam Saudara dan yang kita perlukan hanya mengembangkannya. Karena panggilan dan peran kita unik, maka saya percaya Tuhan pun menaruh kombinasi potensi yang unik juga di dalam hidup kita. Tidak ada seorang pun yang memiliki kombinasi potensi serta fasilitas seperti kita karena Tuhan merancang semua yang kita punya untuk kasus kita dan agar kita dapat mengerjakan panggilan kita. Tidak ada yang sesuatu pun yang kurang di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkan potensi yang kita punya.
Ini berarti bahwa untuk dapat memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup kita, kita hanya harus berusaha untuk menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang lain, dan mengenali serta mengembangkan potensi yang Tuhan taruh di dalam hidup kita. Sekali lagi ingatlah ini: berusahalah untuk menjadi diri sendiri (be yourself). Terimalah dan cintailah diri kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena dengan cara itu, kita sedang menempati posisi kita untuk memenuhi panggilan Tuhan di dalam hidup kita. Namun, ini bukan berarti kita pasrah dan menolak untuk berkembang dan berubah. Tidak seperti itu! Kembangkanlah diri Saudara seluas-luasnya sejauh yang Saudara bisa namun tetaplah taruh di dalam pemikiran kita bahwa diri dan kemampuan kita unik, tidak sama dengan orang lain.
Dengan menyadari bahwa diri dan panggilan kita unik serta potensi yang Tuhan berikan kepada kita juga unik, kita sebenarnya telah setengah melangkah untuk mengatasi persoalan yang menghantui empowered people around: tidak rela melihat orang lain lebih berhasil daripada kita. Mengapa ini menjadi masalah? Karena selama persoalan ini masih menyangkut di benak kita, kita tidak akan membantu orang lain dengan sepenuh hati karena kita takut, dia akan lebih sukses dari kita.

Kompetisi vs koordinasi
Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Andaikata kaki berkata: "Karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Dan andaikata telinga berkata: "Karena aku bukan mata, aku tidak termasuk tubuh", jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman? Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh. Jadi mata tidak dapat berkata kepada tangan: "Aku tidak membutuhkan engkau." Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki: "Aku tidak membutuhkan engkau."
I Kor 12:14-21

Apakah Saudara pernah mendengar tentang kisah teman dekat Saudara pada waktu sekolah atau kuliah sekarang telah menjadi orang yang sukses, terkenal, punya banyak uang padahal pada waktu menjadi teman Saudara beberapa waktu lalu kondisinya “lebih rendah” daripada Saudara? Saya ingin Saudara berhenti sebentar untuk mengingat kembali saat itu. Apa yang Saudara rasakan ketik mendengar kisah tersebut? Apakah Saudara merasa cemburu, marah, merasa kalah, mengasihani diri, atau ada perasaan campur aduk yang berkecamuk di dalam hati Saudara yang tidak dapat Saudara jelaskan?
Kalau Saudara merasakan perasaan-perasaan tadi pikirkanlah betapa lucunya perasaan tersebut. Teman yang “sukses” tadi adalah teman yang pernah kita temui di salah satu masa hidup kita, entah di sekolah atau kuliah, dan sekarang bisa jadi tidak berhubungan langsung terhadap hidup kita namun kesuksesannya dapat membuat hati kita terganggu. Ga nyambung! Kalau kita meminjam istilah sehari-hari. Apa yang sebenarnya terjadi pada hidup kita?
Saya tidak menyalahkan Saudara jika merasakan perasaan-perasaan tersebut karena saya juga merasakan perasaan tersebut dan sebenarnya hal ini dapat dimaklumi. Kita dididik di dunia yang penuh dengan kompetisi, bahkan semenjak kecil, kita diajar untuk berkompetisi.
Di dalam keluarga, kita diajar untuk berkompetisi. Saya pernah datang ke suatu acara ulang tahun seorang anak dimana anak tersebut bersama dengan adiknya diminta untuk bernyanyi di depan para tamu. Pada saat bernyanyi, ternyata adiknya lebih keras menyanyi disertai dengan gerakan-gerakan yang lucu yang membuat para undangan tertawa terbahak-bahak, sedangkan kakaknya yang berulang tahun lebih banyak diam dan menyanyi dengan perlahan. Di akhir dari lagu tersebut, si adik seketika mendapat perhatian dari para undangan dengan mengatakan betapa lucu dan pintarnya dia. Kemudian ada seorang ibu yang berkata kepada si kakak,”Kamu nyanyinya biar kenceng dong tuh lihat adik kamu nyanyinya kenceng pake gerakan lagi. Kalo dia bisa kamu juga pasti bisa.” Saya hanya bisa merenung dalam hati dan bertanya-tanya apa yang dirasakan oleh si kakak ketika dia dibandingkan secara langsung dengan adiknya itu. Ini hanyalah satu contoh kasus, saya percaya bahwa Saudara bisa menyebutkan kasus-kasus yang lain dimana orangtua memakai keberhasilan satu anak untuk “memotivasi” anak yang lain untuk mencapai keberhasilan yang sama malah jangan-jangan kita pun memakai tehnik ini untuk memotivasi anak kita. Sukar untuk disangkal bahwa kebanyakan dari kita belajar untuk berkompetisi semenjak dari kecil, di keluarga kita.
Di sekolah pun kondisinya tidak jauh berbeda. Murid yang menduduki peringkat pertama dijadikan contoh di kelas dengan tujuan supaya murid-murid yang lain mengikuti jejaknya. Di sekolah pun, kita diajar untuk berkompetisi. Jika Saudara adalah lulusan SLTA pada saat membaca buku ini, itu berarti Saudara setidaknya telah diajar untuk berkompetisi selama 12 tahun di sekolah. Bagaimana dengan di dunia kerja?
Di dunia kerja pun kondisinya tidak jauh berbeda. Satu jabatan manajer bisa diperebutkan oleh empat orang asisten manajer. Jenjang karir yang semakin lama semakin mengerucut memaksa para karyawan untuk bersaing dengan temannya untuk mencapai posisi tersebut. Ya, kita diajar untuk berkompetisi di dunia kerja. Bagaimana dengan di gereja? Setidaknya di gereja tidak ada kompetisi bukan?
Saya tidak akan menutupi fakta bahwa di gereja pun kita bisa jadi diajar untuk berkompetisi. Di sekolah minggu, anak kita dibandingkan dengan anak lain yang lebih pintar menggambar, lebih pintar menari, dan seterusnya. Kelompok vokal group kita dibandingkan dengan kelompok yang lain dan daftar ini bisa semakin panjang.
Singkatnya, di hampir seluruh bidang kehidupan kita diajar untuk berkompetisi. Ini terjadi karena banyak yang berpandangan bahwa kompetisi itu baik bahkan diperlukan untuk memotivasi seseorang agar orang tersebut dapat maju. Saya tidak menyangkal bahwa ada hal positif yang kita dapatkan dari kompetisi. Kompetisi dapat membuat seseorang termotivasi untuk maju tetapi kompetisi juga memiliki efek samping yang merugikan: kita membandingkan diri kita dengan orang lain. Jangan salah paham! Membandingkan diri kita dengan orang lain tidak sama dengan belajar dari orang lain. Kita harus belajar dari orang lain bahkan meminta pertolongan dari orang lain agar potensi yang kita miliki semakin bertambah maju. Tetapi kompetisi bergerak pada arah yang berbeda. kita tidak rela dikalahkan oleh orang lain, dan jikalau di salah satu bidang orang lain mengalahkan kita maka kita akan belajar untuk mengalahkan orang itu. Permasalahannya adalah secara tidak sadar, sebagai hasil didikan selama berpuluh-puluh tahun, kita menjadi tidak suka jika orang lain lebih “hebat” daripada kita. Kita terusik ketika orang lain lebih “disorot” keberhasilannya daripada kita dan secara tidak sadar kita menganggap orang tersebut “saingan” kita. Kita tidak merasa secure akibatnya adalah kita tidak akan membantu orang tersebut untuk mencapai keberhasilannya.
Padahal sebagaimana telah kita bahas sebelumnya kita itu unik, tidak ada duanya dan orang lain itu pun unik. Bagaimana kita bisa membandingkan dua hal yang unik, yang berbeda satu dengan yang lainnya? Penilaian model apakah yang bisa kita pakai? Di sinilah letak kesalahan banyak orang, termasuk saya, karena memberikan penilaian yang sempit untuk membandingkan orang lain. Kita sering mendengar perkataan,”Kalau orang lain bisa, kamu pun pasti bisa” sebenarnya semakin saya merenungkan perkataan tersebut menjadi semakin tidak masuk akal jadinya, terutama di dalam konteks bahasan kita sekarang ini. Untuk memudahkan mari kita memakai analogi yang dipergunakan oleh Paulus untuk menggambarkan sebuah jemaat yaitu anggota tubuh.
Pada suatu waktu, seluruh anggota tubuh berkumpul untuk menentukan siapa yang terbaik di antara mereka. Karena di dalam diskusi yang panas, mereka tidak mencapai konsensus siapa yang terbaik maka mereka memutuskan untuk mengadakan perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik. Agar penilaian dapat berlangsung secara jujur dan adil, maka para anggota tubuh meminta seekor burung hantu yang terkenal bijaksana untuk menjadi juri pada pertandingan tersebut. Mengetahui permintaan yang aneh ini, burung hantu menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Setelah berpikir semalaman, dia mendapat jalan keluar yang baik. Di hadapan semua anggota tubuh, burung hantu menekankan bahwa dia harus berhati-hati untuk memilih ketua yang baik oleh karena itu dia akan mengadakan puluhan perlombaan untuk mencari siapa yang terbaik. Anggota tubuh yang berhasil memenangkan semuanya, dialah yang terbaik. Seluruh anggota tubuh setuju dengan pemikiran si burung hantu. Maka disiapkanlah perlombaan-perlombaan untuk menentukan siapa yang terbaik. Perlombaan pertama adalah perlombaan melihat dan saya yakin Saudara tahu siapa yang menjadi pemenang di perlombaan ini: mata. Perlombaan kedua adalah perlombaan siapa yang dapat berlari lebih cepat dan pemenangnya adalah kaki. Perlombaan ketiga adalah perlombaan siapa yang dapat mendengar lebih baik dan pemenangnya adalah telinga. Perlombaan keempat adalah siapa yang dapat menggenggam lebih erat, dan pemenangnya adalah tangan. Demikianlah seterusnya hingga seluruh anggota tubuh memenangkan sesuatu karena si burung hantu dengan jeli melihat kelebihan anggota tubuh tertentu lalu mengadakan perlombaan untuk membuat anggota tubuh tersebut menjadi juara. Di akhir perlombaan, seluruh anggota tubuh memenangkan satu pertandingan, pertandingan dimana potensi mereka yang terbaiklah yang menjadi unsur penilaian. Melalui perlombaan ini, para anggota tubuh menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan semuanya sendiri dan mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Pelajaran apakah yang bisa kita tarik dari kisah di atas? Yang pertama, kita tidak dapat dan tidak bisa membandingkan diri kita dengan orang lain. Kita tidak dapat membandingkan orang secara apple to apple. Setiap orang memiliki kombinasi kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian standar yang dipergunakan untuk menilai akan membuat seseorang yang handal dalam standar tersebut akan menjadi pemenangnya. Seperti cerita di atas, jikalau perlombaan yang dipertandingkan adalah melihat maka matalah yang akan menjadi pemenangnya demikian seterusnya tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mata menjadi yang terbaik.
Permasalahannya adalah kita seringkali terlalu menekankan satu penilaian seakan-akan hanya penilaian itulah yang penting. Ambil contoh di sekolah, mereka yang memiliki kelebihan secara akademis akan unggul dalam bidang ini tetapi sebenarnya itu tidak menjadikan mereka yang handal dalam olahraga atau seni atau linguistik tidak baik. Mereka kelihatan tidak unggul karena standar penilaian yang dipergunakan. Jikalau standar yang dipakai adalah seni, maka mereka yang unggul dalam bidang senilah yang menonjol, demikian seterusnya. Oleh karena itu, penilaian mengenai siapa yang terbaik bersifat subyektif.
Yang kedua adalah sebagaimana dijelaskan oleh Paulus, di dalam tubuh kristus, tidak ada kompetisi, yang ada hanya kerjasama antara yang satu dengan yang lain karena sebagaimana anggota tubuh, yang satu melengkapi yang lain. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing tempat secara khusus agar kita dapat menunaikan tugas kita dengan efektif. Lagipula kita semua bertanding di jalan kita sendiri-sendiri.

Kita bertanding di pertandingan kita sendiri
Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.
II Timotius 4:7-8

Pada akhir masa hidupnya, Paulus mengatakan bahwa dia telah menyelesaikan pertandingan dengan baik dan saya percaya yang dia maksud dengan pertandingan di sini bukanlah perlombaan antara dia, Petrus, Apolos atau Yohanes tetapi pertandingan hidup dia sendiri. Mari kita mengulang sedikit apa yang telah kita pelajari: kita unik dan karena kita unik, peran dan panggilan kita pun unik, dan karena peran dan panggilan kita unik, Tuhan memperlengkapi kita juga secara unik agar kita dapat menjalankan panggilan kita secara efektif dan karena semua itu, pertandingan kita juga secara otomatis unik. Kita bertanding di pertandingan kita sendiri, tidak ada saingan.
Dan karena Paulus berbicara mengenai pertandingan, mari kita memakai analogi dalam bidang olahraga. Seandainya saja ada dua orang, sebut saja A dan B. Si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis sedangkan si B menjadi pemain sepakbola. Karena si A terpanggil menjadi pemain bulutangkis maka Tuhan memperlengkapi dia dengan kok, raket, dan lapangan yang sesuai dengan perannya. Sedangkan si B sebagai pemain sepakbola akan diperlengkapi oleh Tuhan dengan sepatu bola, bola sepak dan lapangan yang cukup besar untuk bermain sepakbola. Sebagaimana yang sudah kita bahas di atas, Tuhan sudah memperlengkapi kita dengan apa yang kita butuhkan sebagaimana Tuhan memperlengkapi si A dan B. Yang menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis mulai melihat ke si B, lalu mulai mengeluh kepada Tuhan karena dia hanya diberikan kok bukannya bola sepak dan lapangan tempat bermain dia kecil tidak seperti lapangan sepakbola. Begitu juga dengan si B, ketika dia melihat si A, si B mulai merasa iri karena si A punya raket sedangkan dia tidak. Bagaimana kalau Tuhan “iseng” dan mengabulkan doa si A dan B. Tahukah Saudara betapa sulitnya bermain bulutangkis jikalau koknya adalah bola sepak dan bermain di lapangan sepakbola? Sama sulitnya dengan bermain sepakbola dengan tangan memegang raket bulutangkis. Ingatlah ini, orang yang iri terhadap sesamanya adalah seperti atlit bulutangkis yang ingin punya bola sepak atau atlit sepakbola ingin memiliki raket. Padahal Tuhan sudah memperlengkapi kita dengan apa yang kita butuhkan agar dapat menjalankan tugas kita dengan efektif, potensinya sudah ada di dalam diri kita, kita hanya perlu mengembangkannya. Oleh karena itu, jikalau ada si C yang berkata,”mengapa saya tidak terlahir ganteng/cantik dan kaya seperti dia?” jawabannya adalah karena dia memerlukan amunisi tambahan berupa wajah yang rupawan dan kekayaan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan efektif sedangkan si C dengan wajah yang biasa saja dan penghasilan yang cukup dapat menjalankan perannya dengan efektif. Jikalau si D berkata,”Mengapa saya tidak sepintar dia” jawabannya adalah karena dia perlu kepintaran model itu agar dapat menjalankan perannya di dunia ini sedangkan si D diberikan oleh Tuhan kepintaran yang lain.
Yang juga menjadi masalah adalah ketika si A, pemain bulutangkis, tidak rela menjadi pemain bulutangkis dan ingin menjadi pemain sepakbola sehingga dia menyesali diri, tidak menerima keadaannya sekarang ini. Saudara, iri dengan keadaan orang lain bahkan ingin berada di posisi orang lain tidak akan membantu kita untuk menjalankan fungsi kita secara efektif. Terimalah diri kita apa adanya, jangan membandingkan diri kita dengan orang lain karena kita bertanding di jalan kita sendiri bukan di jalan orang lain.

Meng-empowered others
Nah, kalau Saudara mengerti bahwa setiap orang unik dan kita bertanding di jalan kita sendiri maka sekarang kita lebih siap untuk meng-empowered orang lain. Kita tidak akan iri terhadap keberhasilan orang lain bahkan sebaliknya kita akan bersukacita melihat orang lain berhasil karena orang tersebut telah menjadi sukses di pertandingannya dan kita yang bertanding di jalan kita sendiri akan termotivasi untuk sukses di pertandingan kita sendiri.
Sekarang lihatlah dari sudut pandang yang berbeda, ketika kita meng-empowered orang lain, kita sesungguhnya sedang membantu satu bagian tubuh Kristus mencapai potensi maksimalnya. Dan apabila dia mencapai potensi maksimalnya, seluruh tubuh Kristus memperoleh manfaatnya.
Namun jangan keliru, walaupun kita unik, kita dipanggil oleh Tuhan untuk hidup berkomunitas. Kita adalah satu bagian puzzle yang melengkapi bagian tubuh Kristus. 

THE REAL LOVE

Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
(I Kor 13:13)

                Rasanya kita sudah terlalu biasa mendengar tema kasih atau cinta? Tema ini sudah terlalu sering diangkat. Tema ini juga telah menginspirasi ribuan novel, film, sinetron, lagu, drama, puisi, dan banyak lagi. Banyak bidang ilmu pengetahuan yang mendalami soal kasih: kita bisa mendengar perdebatan filsafat, perbincangan theologia, teori psikologi, diskusi sosiologi, dan baru-baru ini, saya menonton tayangan dokumenter yang mengupas tentang penelitian dalam bidang biochemistry dan kedokteran yang menyelidiki hormon yang membuat kita jatuh cinta. Mungkin karena itu begitu mempengaruhi hidup kita sehingga perbincangan tentang kasih atau yang secara umum disebut cinta ini tidak pernah usai, selalu ada,  tidak pernah lekang oleh waktu. Kita melihatnya di dalam pasangan yang sedang jatuh cinta, di dalam keluarga, dalam hubungan persahabatan, dan seterusnya. Permasalahannya adalah sebagaimana yang disinggung dalam kalimat pertama di atas, kita menjadi terlalu biasa dengan tema ini, sehingga kita jenuh. Bisa jadi juga, kita menjadi terlalu banyak menerima “input” tentang kasih atau cinta sehingga kita kehilangan makna kasih yang sesungguhnya. Itulah mengapa gereja Tuhan tidak pernah berhenti untuk membahas mengenai tema kasih, supaya jemaat Tuhan tidak kehilangan arah untuk memahami dan mempraktikkan the real love.
                 Apakah kasih yang sejati (the real love) itu? Rasul Paulus menulis ciri-ciri orang yang mengasihi: “Orang yang mengasihi orang-orang lain, sabar dan baik hati. Ia tidak meluap dengan kecemburuan, tidak membual, tidak sombong. Ia tidak angkuh, tidak kasar, ia tidak memaksa orang lain untuk mengikuti kemauannya sendiri, tidak juga cepat tersinggung, dan tidak dendam. Orang yang mengasihi orang-orang lain, tidak senang dengan kejahatan, ia hanya senang dengan kebaikan. Ia tahan menghadapi segala sesuatu dan mau percaya akan yang terbaik pada setiap orang; dalam keadaan yang bagaimanapun juga orang yang mengasihi itu tidak pernah hilang harapannya dan sabar menunggu segala sesuatu” (I Korintus 13:4-7 – Bahasa Indonesia Sehari-hari). Kasih yang sejati adalah pengorbanan. Kasih juga berarti menyerahkan nyawa kita bagi orang lain (I Yoh 3:16) bahkan bagi orang yang membenci kita. Tidak masuk akal, bukan? Tapi itulah yang ditunjukkan oleh Tuhan kita, Yesus Kristus.
Definisi dari kasih yang sempurna adalah Yesus Kristus. Dia adalah kasih; paku di tangan-Nya, mahkota duri di kepala-Nya, tergantung di kayu salib untuk menebus dosa kita. Itulah kasih ketika Dia mati untuk kita, padahal pada saat itu, kita sedang dalam posisi membenci Dia karena dosa-dosa kita. Tuhan adalah kasih yang sejati. Jikalau Saudara tidak mengenal kasih sejati ini, inilah saat yang tepat untuk mengenal Dia, the real love.

Kamis, 21 Agustus 2014

PRICE TAG

Mencintai Hidup Berarti Meng”harga”i Hidup

 Judul dari artikel ini sesungguhnya tercetus ketika melihat label harga (price tag)yang tercantum di setiap produk yang ditawarkan di pusat-pusat perbelanjaan. Pada saat itulah muncul pemikiran bahwa kita, secara sadar atau tidak, seringkali menaruh label harga atau price tag terhadap segala sesuatu, termasuk anak, pasangan, keluarga, teman bahkan pada diri kita sendiri. Segala sesuatu memang memiliki nilai dan harga. Rasul Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menulis demikian,”Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.”(2 Korintus 5:16). Menilai berarti menaksir harga atau kualitas dari sesuatu. Di sini terlihat dengan jelas bahwa bagi Paulus, seseorang atau bahkan Tuhan Yesus pun memiliki ”nilai” atau ”harga”. Mencintai hidup (Loving Life) memang tidak dapat dilepaskan dari meng”harga”i hidup dan itu dimulai dari bagaimana cara kita meng”harga”i diri kita sendiri.

Berapakah hargamu?
Di dalam salah satu acara motivasi di salah satu stasiun televisi, seorang motivator kenamaan bertanya kepada hadirin yang datang pada saat itu,” Pada harga berapa, Saudara rela menjual kejujuran dan integritas Saudara jikalau Saudara memiliki kesempatan untuk bertindak curang dan mengambil keuntungan pribadi dari perusahaan atau instansi tempat di mana Saudara bekerja.?” Jawaban demi jawaban diucapkan oleh penonton di studio. Ada yang menjawab satu milyar, dua milyar, lima milyar, dan seterusnya. Yang menarik adalah jawaban si motivator ketika mendengar jawaban dari hadirin tersebut. Dengan tersenyum dia menjawab,”Terima kasih karena sekarang saya tahu berapa harga Saudara. Namun bagi saya, saya tidak akan menjual integritas saya karena itu tidak bisa diukur oleh uang.”
Jawaban dari sang motivator benar. Sungguh menyedihkan memang apabila kita meng”harga”i sesuatu dengan ukuran standar materi, seakan-akan segala sesuatu dapat dibeli dengan uang atau materi apalagi apabila diri kita sendiri pun kita beri label harga tertentu.  Mengapa cara kita meng”harga”i diri kita sendiri penting? Karena cara pandang kita kepada diri sendiri akan berpengaruh ke tindakan dan keberhasilan kita dan otomatis juga akan mempengaruhi cara kita meng”harga”i orang lain. Kalau kita meng”harga”i diri kita sendiri dengan harga yang rendah, maka kita akan meng”harga”i orang lain bahkan lingkungan di sekitar kita dengan ”harga” yang lebih rendah lagi.

Loving Life
Mengasihi kehidupan merupakan buah dari mengasihi Tuhan dan mengasihi manusia, termasuk mengasihi diri kita. Mengapa demikian? Cinta kepada Tuhan akan membawa pengucapan syukur atas kehidupan di sekeliling kita yang Dia beri. Cinta kepada manusia, termasuk kepada diri sendiri akan membuat kita menghargai dan menghormati diri sendiri. Itulah mengapa bagaimana kita menghargai Tuhan dan menghargai sesama termasuk diri kita sendiri mempengaruhi cara pandang kita terhadap kehidupan itu sendiri. Pada akhirnya, cara pandang yang tepat itu menyebabkan kita menaruh price tag atau label harga yang tepat pula pada kehidupan di sekitar kita yang standarnya bukan berdasarkan ukuran manusia atau secara materi tetapi menurut standar-Nya Tuhan yaitu berdasarkan kasih.

Akhir kata, mengasihi kehidupan adalah menghargai kehidupan dan ini dapat tercapai ketika kita mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Ini bukanlah hal yang mustahil atau sekadar wacana tetapi adalah sesuatu yang seharusnya terjadi di antara kita, orang yang percaya. 

TERTAWA MENIKMATI KEHIDUPAN

Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai.
Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.
Mazmur 126:5-6

Mazmur yang kita baca di atas adalah salah satu nyanyian ziarah yang dinyanyikan para peziarah yang yang biasanya  dinyanyikan ketika para peziarah menanjak menuju Yerusalem.  Mazmur ini dinyanyikan untuk mengenang kembalinya orang Israel dari pembuangan. Bagi sebagian orang Israel, kepulangan ke tanah perjanjian adalah sesuatu yang dinantikan. Banyak dari antara mereka yang kembali dari pembuangan mengetahui dengan baik nubuatan akan adanya pemulihan Bait Allah. Ketika nubuatan itu menjadi kenyataan, itu adalah suatu pengalaman yang tidak terlupakan.

Orang Israel telah melewati masa duka yang besar, mereka hidup dalam pembuangan namun pada akhirnya Tuhan membawa mereka kembali ke tanah mereka. Pertanyaannya adalah apakah pemulihan itu telah selesai? belum. Mereka kembali ke kota yang hancur dan bait Allah masih dalam reruntuhan. Tetapi, itu tidak menjadi masalah buat mereka. Mereka sangat bersukacita dan bersyukur atas apa yang Tuhan telah perbuat dalam kehidupan mereka walaupun segala sesuatu belumlah sempurna dan mereka masih menghadapi masalah-masalah.

Respon kita terhadap kehidupan sangat menentukan keindahan kehidupan itu sendiri. Ketika orang merespon hidup dengan bersungut-sungut dan menggerutu, maka hidupnya akan dipenuhi dengan ketidakbahagiaan. Dalam konteks bekerja, apakah kita dapat meresponi sebuah keindahan dalam pekerjaan? Pekerjaan seberat apapun dapat dilewati dan diselesaikan dengan semangat karena dilakukan dengan hati yang bahagia. Jika kita dapat memandang Tuhan dengan cara dan perspektif yang benar, maka kita juga akan mampu memandang pekerjaan kita sebagai pekerjaan yang menggairahkan

Sayangnya, sukacita kita seringkali bergantung kepada keadaan, jikalau demikian sukacita itu adalah sukacita yang tidaklah berkelanjutan karena keadaan kita berubah-rubah. Sukacita kita seharusnya tidak bergantung kepada keadaan. Sukacita dapat diartikan sebagai suatu keyanikan yang mendalam bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas setiap aspek kehidupan kita. Sukacita yang sejati memiliki jangkar yang dilabuhkan di dalam kepercayaan kepada Tuhan. Sukacita semacam ini tidak akan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Oleh karena itu, kita dapat memiliki sukacita walaupun kita sedang menghadapi situasi yang sulit karena sukacita itu adalah sebuah pilihan, sukacita adalah masalah attitude.

Rabu, 20 Agustus 2014

LEADING WITH HEART - GENEROSITY

It is possible to give without loving, but it is impossible to love without giving – Richard Braunstein

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kemurahan hati berarti kebaikan hati; sifat kasih dan sayang; kedermawanan. Dengan definisi tersebut, rasanya jika ditanya, hampir semua orang menyetujui bahwa kemurahan hati adalah hal yang baik, tetapi belum tentu kita melakukannya di dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, dalam spotlight kali ini, kita akan membahas mengenai masalah kemurahan hati (generosity) sebagai bagian dari tema besar Leading with Heart. Kita akan mengupas tentang kemurahan hati dari sudut pandang penghakiman terakhir dalam Matius 25:31-46.
Pada akhir zaman, semua bangsa akan dipisahkan menjadi dua golongan di hadapan Anak Manusia, yaitu golongan kambing dan golongan domba. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah penamaan golongan tersebut adalah kambing dan domba, bukannya serigala dan domba. Tuhan seakan-akan menunjukkan bahwa perbedaan di antara kedua golongan ini tidaklah ekstrim, bukan hitam lawan putih atau kebaikan melawan kejahatan. Perbedaan di antara keduanya tidaklah besar dan itu ditentukan oleh apa yang mereka lakukan.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah Yesus dengan jelas mengatakan bahwa tanda utama dari orang Kristen yang sejati bukanlah pengetahuan Alkitab, doktrin yang dia percaya, atau aksesoris yang dia kenakan, melainkan perhatian yang ia tunjukkan kepada mereka yang membutuhkan. Demonstrasi kasih adalah bukti akhirGolongan domba dipuji karena kemurahan hati mereka. Oleh karena itu, pada saat ini, kita akan belajar dari golongan domba tentang kemurahan hati.

1.       Untuk menjadi jawaban, kita harus tahu pertanyaannya
Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan…. (Matius 25:35)

Ada motto yang mengatakan bahwa kita (gereja) yang merupakan perwakilan Kristus adalah jawaban bagi dunia. Motto di atas tidak keliru, namun kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: “Jawaban atas pertanyaan apa?” Golongan domba tahu apa yang mereka lakukan. Ketika lapar diberi makan, haus diberi minum, dan seterusnya. Singkatnya, golongan domba tahu secara spesifik apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara untuk memenuhinya. Kemurahan hati bukan berarti memberi secara banyak dan serampangan. Kemurahan hati adalah memberi dengan cerdik, tepat sesuai kebutuhan, sekaligus menjawab kebutuhan tersebut.

2.       Kemurahan hati itu berkaitan dengan momentum
Sebab ketika…………….. (Matius 25:35)

Penulis Perancis, Jean de La Bruyere menulis bahwa kemurahan hati itu bukanlah berarti memberi banyak tetapi lebih condong ke memberi pada waktu yang tepat. Semua orang membutuhkan air minum, tetapi air minum akan jauh lebih dihargai oleh orang yang haus. Golongan domba bukan hanya tahu apa yang dibutuhkan tetapi mereka juga mengetahui dengan persis kapan harus membantu.

3.       Bermurahhatilah hingga kita “tidak sadar” sedang bermurah hati
Tuhan, bilamanakah kami………..? (Matius 25:37)

Ada beberapa penafsir yang menafsirkan bahwa golongan domba itu tidak sadar kalau yang mereka sedang bantu itu adalah Tuhan. Penafsiran tersebut memang benar, tetapi ayat tersebut juga bisa berarti bahwa si golongan domba sama sekali tidak sadar kalau mereka sesungguhnya sedang bermurah hati. Hal ini bisa terjadi ketika kemurahan hati telah menjadi bagian hidup dan budaya. Orang-orang seperti ini bahkan tidak sadar mereka sedang melakukan suatu hal yang istimewa. Sebagaimana tergambar dalam kisah di atas ketika dipuji mereka malah keheranan, karena mereka tidak merasa melakukan suatu hal yang luar biasa. Menolong orang dan bermurah hati adalah hal yang biasa mereka lakukan. Itulah diri mereka apa adanya.


Ketika golongan domba bermurah hati, mereka melakukannya “tanpa disadari”, tidak diingat-ingat, dan tidak mengharapkan pujian. Kemurahan hati yang muncul dari cinta kepada Tuhan. Di sepanjang kehidupan golongan domba, iman mereka telah menghasilkan buah pekerjaan baik yang dirasakan banyak orang dan adalah doa kita semua, kita digolongkan ke dalam golongan domba ini. Tuhan Yesus memberkati!

CREATIVITY (KREATIFITAS)

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.
Kejadian 1:1

Sebelum Allah dikenal sebagai Yehova, Ia dikenal sebagai Elohim, Sang Pencipta, the Creator. Dari sinilah muncul kata kreatif. Allah adalah Pencipta yang sangat kreatif. Pandanglah sekeliling kita, Ia mencipta bukan hanya sempurna tapi sangat kreatif. Tidak ada seorang pun dalam dunia ini yang sama, tidak ada ciptaan apa pun yang sama, semua berbeda. Manusia membuat produk yang sama dan berhasil karena mesin yang membuatnya. Tapi Tuhan membuat segala sesuatu berbeda, bahkan saudara kembar pun tidak sama. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei). Oleh sebab itu manusia sebagai Imago Dei memiliki kemampuan kreatifitas yang luar biasa.

Siapa pun kita dan apa pun profesi kita, kreatif itu sangat penting karena hidup itu dinamis, selalu berubah. Apa yang hari sedang nge-trend bisa jadi esok hari sudah kuno. Apa yang hari ini bisa menjawab persoalan, esok justru bisa menimbulkan masalah baru. Sementara itu, perubahan terjadi di segala aspek kehidupan. Kehidupan sosial, bisnis, ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya selalu berubah. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap mampu menghasilkan ide-ide baru agar kita bisa mengikuti perubahan. Itulah mengapa kita dituntut untuk bisa berpikir kreatif


Kita mungkin pernah mendengar  acara-acara di TV yang menampilkan hal-hal luar biasa yang pernah dilakukan oleh manusia, seperti Guiness Book of World Record, Ripley's, dan sebagainya. Hikmah umum yang bisa kita ambil adalah bahwa kita sering melihat hal-hal yang tidak pernah terpikirkan. Mungkin saja setiap masalah dan tantangan yang kita anggap sulit itu masih ada solusinya, namun belum terpikirkan oleh kita. Jadi saat kita memiliki masalah yang pelik atau memiliki tantangan yang sangat berat, jangan putus asa dulu, karena mungkin saja kita belum menemukan solusinya, mungkin belum terpikirkan oleh kita seperti hal-hal luar biasa pada acara Guiness Book of World Record.

Bagaimana agar kita bisa menemukan solusi yang kelihatannya tidak ada tersebut? Jawabannya ialah dengan mencarinya. Bagaimana kita bisa menemukannya jika kita tidak mencari. Proses pencarian inilah yang disebut dengan proses berpikir kreatif. Proses berpikir yang akan menghasilkan ide-ide baru yang mungkin saja salah satunya bisa mengatasi masalah kita. Berpikir kreatif bukanlah hanya bisa dilakukan oleh orang- orang tertentu yang berbakat. Berpikir kreatif bisa dipelajari oleh semua orang termasuk kita karena pada dasarnya kita diciptakan menurut gambar Allah yang kreatif.

Selasa, 19 Agustus 2014

Bernilai

Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.
2 Korintus 5:16

Beberapa waktu lalu, saya mendengar sebuah lagu yang berjudul ”price tag” yang dinyanyikan oleh Jessie J. Lirik lagu ini berisi protes karena manusia memandang segala sesuatunya hanya berdasarkan materi. Manusia menaruh label harga atau price tag terhadap segala sesuatu, itulah mengapa kehidupan itu seperti proses jual-beli dan kebenaran bisa digeser ke belakang. Masih menurut lirik lagu ini, pandangan seperti itulah yang salah. Jika dipandang dari sisi materi, kehidupan tidak dapat diberi label harga atau price tag. Ada hal tertentu yang tidak dapat dibeli oleh materi termasuk kebahagiaan dan mata uang yang berlaku di dalam kehidupan adalah cinta, bukan materi. Walaupun lagu ini bukan lagu gereja dan terlepas dari segala kontrovesinya serta kesimpulan yang diambil oleh lagu ini, kata-kata lagu tersebut membuat saya berpikir dan merenung. Betulkah ada ”price tag” di dalam kehidupan kita? Jika ya, siapa yang memberi nilai dan patokan harga?

Segala sesuatu memang memiliki nilai dan harga. Hal ini nampak dari ayat renungan kita di atas. Rasul Paulus pernah menilai seseorang menurut ukuran manusia, dan saya menduga bahwa Rasul Paulus menilai manusia tersebut berdasarkan materi persis seperti lagi ”Price Tag” di atas. Penilaian yang sama pernah Rasul Paulus terapkan juga ke Kristus. Namun, sekarang dia tidak berpikir seperti dulu lagi, sekarang Rasul Paulus berpikir dengan cara yang berbeda. Rasul Paulus melihat manusia dari kacamata Allah, bahwa manusia telah didamaikan dengan Allah oleh kematian Yesus Kristus. Tetapi apakah cukup sampai di situ saja?


Di dalam pengalaman kita sehari-hari tentu saja kita memahami bahwa nilai suatu barang biasanya menentukan harga, namun harga belum tentu menentukan nilai. Semua yang bernilai biasanya menjadi berharga. Demikian juga dengan kehidupan kita. Siapa kita dinilai dari APA NILAI kita terhadap kehidupan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menilai diri kita dan orang lain? Apa standar nilai kehidupan kita? Bagaimana komitmen kita untuk mencapai standar tersebut? Kebenarannya adalah sebagai wakil Kristus di dunia ini, kita harus memiliki nilai yang berbeda dengan standar dunia supaya dunia dapat belajar dari kita. Jadi, mulailah dengan memiliki hidup yang bernilai yang sesuai dengan nilai-nilai Alkitab dan hidup kita akan menjadi hidup yang berharga. Tuhan memberkati!