Pendahuluan
Pertanyaan
ini seringkali diungkapkan oleh banyak orang. Mungkin ada dari antara orang
Kristen yang menjadi skeptis ketika mendengar kata doa. Ada begitu banyak doa
yang tidak terjawab yang membuat sebagian orang enggan untuk berdoa. Mereka
berargumen, ”toh, berdoa atau tidak berdoa hasilnya sama saja” sehingga doa
tidak lagi dipandang sebagai suatu kebutuhan utama tetapi hanya sebagai kebutuhan
“sampingan” yang akan dijalankan apabila kepepet.
Bagi
sebagian yang lain, doa hanya dipandang sebagai suatu kegiatan liturgis; suatu
seremonial yang harus dilaksanakan sebelum melakukan sesuatu. Jikalau tidak
berdoa, mereka takut “usaha” mereka akan gagal atau tidak berhasil. Doa telah
berubah menjadi momok menakutkan yang harus dilaksanakan. Bagi orang yang
menganut pandangan ini, Tuhan telah berubah menjadi “centeng” atau “preman
jalanan” yang harus disogok dengan doa jikalau seseorang ingin berhasil dan
sukses
Untuk yang
lainnya, doa hanya sekadar kebiasaan. Karena begitu seringnya kita berdoa, doa
dapat kehilangan greget-nya. Kita dapat berdoa tanpa adanya “rasa”. Misalnya,
sebelum makan kita dapat secara “otomatis” berdoa mengucap syukur kepada Allah
atas makanan yang Dia beri tetapi sesungguhnya hati kita tidak mengucap syukur
kepada-Nya.
Di samping
itu, kita hidup di era modern yang mengajarkan kepada kita bahwa kita bisa
mendapatkan “segalanya” dengan berusaha walaupun kita tidak berdoa. Saya pernah
mendengar teman saya yang pernah bermukim di Jepang mengeluh mengenai betapa
susahnya membuat orang Jepang percaya kepada Kristus. Mereka percaya bahwa
mereka memperoleh segala sesuatu bukan karena Tuhan tetapi karena mereka
berusaha mendapatkannya. Jadi, jikalau kita dapat memperoleh sesuatu tanpa
harus berdoa, mengapa kita harus berdoa?
Doa =
Berkomunikasi dengan Allah
Sebelum
kita menjawab pertanyaan mengenai mengapa kita harus berdoa, kita harus
terlebih dahulu memahami apakah yang dimaksud dengan doa.
Ada 14 kata
bahasa Ibrani dan 9 kata bahasa Yunani yang diterjemahkan dengan kata doa.
Hampir seluruh dari pengertian kata-kata tersebut (misalnya: 'anna'
dan sha'al-Ibrani atau deomai-Yunani) menempatkan
hubungan kita dengan Tuhan dalam posisi yang tidak setara; Dia adalah Tuhan
sedangkan kita adalah hamba-Nya. Tetapi Tuhan Yesus memperkenalkan konsep
“baru” yang bahkan pada jaman itu tidak dikenal oleh orang Israel. Tuhan Yesus
menyebut Allah sebagai bapak/ayah (Abba-Aramaik; pater -
Yunani). Bangsa Israel memang mengakui bahwa Allah adalah Bapak mereka namun
Allah diakui sebagai Bapak bangsa, bukan bapak pribadi (bangsa Israel menyebut
Allah dengan sebutan Abinu). Bagi bangsa Israel pada waktu itu, menyebut Allah
dengan sebutan Abba, yang adalah panggilan akrab untuk ayah di dalam keluarga,
adalah suatu penghujatan besar. Tetapi bagi Tuhan Yesus sebutan itu justru
menggambarkan hubungan yang akrab dengan Allah dan keinginan Allah untuk
bergaul akrab dengan umat-Nya. Allah ingin berkomunikasi dengan kita secara
akrab dan jalur komunikasi itu adalah melalui doa.
Komunikasi
adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih
sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Karena doa adalah komunikasi maka
di dalam doa haruslah ada pengiriman dan penerimaan pesan, dan dilakukan dua
arah. Hilangnya salah satu unsur tersebut menghilangkan makna komunikasi di
dalam doa. Karena unsur komunikasi inilah, seseorang dapat menjalin hubungan
dengan Allah di dalam doa. Namun di dalam menjalin hubungan dengan Allah,
seseorang dapat salah persepsi.
Martin
Buber pernah mengeluarkan konsep mengenai hubungan manusia. Di dalam konsepnya,
dia mengatakan bahwa dalam kehidupan kita, terdapat dua cara untuk menjalin
hubungan dengan orang lain. Kita dapat melihat orang lain sebagai obyek. Cara
pandang ini disebut cara pandang “Saya-Itu” atau dalam istilah bahasa Inggris
“I-It”. Atau kita dapat memandang mereka sebagai subyek. Cara pandang ini
disebut cara pandang “Saya-Engkau” atau dalam bahasa Inggrisnya “I-Thou”3.
Berdasarkan
konsep tersebut, ada dua cara pandang orang Kristen terhadap Tuhan. Pertama,
kita dapat memandang Tuhan sebagai obyek. Artinya, Dia kita pandang berfungsi
untuk melayani kita, kita mendapatkan sesuatu dari-Nya tetapi kita tidak peduli
dengan perasaan-Nya. Tuhan kita pandang sebagai mesin yang apabila “tombol”
yang tepat ditekan, Dia akan memberikan apa pun yang kita inginkan. Kita dapat
menyogok Tuhan dengan perilaku yang saleh dan kata-kata pujian. Kita memercayai
Tuhan hanya agar kita dapat memanfaatkan dan memanipulasi Dia. Tipe doa yang
dinaikkan oleh orang yang memiliki pandangan seperti ini adalah jikalau saya
berdoa dengan benar, maka Tuhan akan memberikan apa yang saya inginkan. Sama
seperti Tuhan tidak akan memperlakukan kita sebagai obyek, Dia pun tidak akan
membiarkan diri-Nya dimanfaatkan sesuai keinginan kita.
Cara
pandang kedua adalah Tuhan kita anggap sebagai subyek. Tuhan selalu memandang
kita sebagai seorang pribadi, Dia tidak pernah memanipulasi kita. Sebaliknya
Dia mencukupi segala kebutuhan kita karena Dia mengasihi kita. Karena itu, cara
pandang kita terhadap Tuhan seharusnya juga dilandasi di atas pemikiran yang
sama. Kita datang kepada Tuhan bukan karena kita menginginkan sesuatu dari Dia
tapi semata-mata karena kita mengasihi Dia. Kita menyembah Dia karena apa yang
Dia perbuat dalam hidup kita. Tipe doa orang yang menganut cara pandang ini
adalah jikalau saya berdoa dengan benar, maka saya akan mengenal Tuhan lebih
dalam lagi sehingga apa yang dulu saya anggap berarti tidak lagi berarti bagi
saya karena pengenalan akan Tuhan melebihi
segalanya4.
Dalam
prakteknya kita sering memandang Allah menurut cara pandang pertama. Doa-doa
kita dipenuhi dengan permohonan. Memohon atau meminta suatu pertolongan dari
Tuhan memang tidaklah salah, tetapi itu hanyalah salah satu bagian dari doa.
Doa adalah komunikasi orang percaya dengan Tuhan. Kata kuncinya adalah
komunikasi, bukan sekadar bicara atau meminta. Tuhan adalah seorang pribadi di
mana kita berkomunikasi dengan-Nya (dua arah), bukan berbicara kepada-Nya (satu
arah). Ujian sebuah doa adalah apakah Tuhan menjadi lawan bicara dalam
percakapan itu.
Manfaat Doa
Mujizat
dalam Doa
Doa orang
yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. (Yak 5:16)
Mengapa
kita harus berdoa? Pertama-tama adalah karena saya percaya Allah mengabulkan
doa-doa dan melakukan mujizat-mujizat. Kita “dihujani” dengan begitu banyak
kesaksian yang menyatakan bahwa Allah menjawab doa dan permohonan tepat seperti
apa yang didoakan mulai dari perkara yang sederhana sampai dengan permasalahan
yang sulit. Doa yang dinaikkan dengan iman dapat menghasilkan mujizat.
Alkitab
sendiri dipenuhi oleh kisah tokoh-tokoh Alkitab yang permohonannya dijawab oleh
Tuhan, contohnya: Doa Abraham untuk kesejahteraan Ismael dikabulkan (Kej
17:20), Rahel dan Hana yang mandul akhirnya memiliki anak karena mereka berdoa
(Kej 30:22; I Sam 1:17), Tuhan menghentikan matahari karena doa Yosua (Yos
10:14), Allah menolong perjalanan Ezra (Ezra 8:23), dan masih banyak lagi.
Allah kita adalah Allah yang menjawab doa. Tetapi seringkali walaupun seseorang
berdoa dengan iman, penyakit tetap tidak disembuhkan, orang yang dia kasihi
tetap meninggal, orangtua tetap bercerai, dan permasalahan masih tetap ada. Apakah
itu berarti doa itu tidak terjawab? Apakah semua jawaban doa itu terjadi karena
faktor kebetulan? Jikalau Tuhan tidak menjawab doa, mengapa kita harus berdoa?
Ataukah Allah sedang bekerja dengan cara-Nya?
Melihat
yang Tidak Terlihat
Allah tidak
membuat “mujizat” ketika menolong Hagar (Kej 21:8-21). Tuhan tidak membuat
sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Mujizat atau pertolongan Tuhan pada
saat itu adalah Allah membukakan mata Hagar untuk melihat apa yang tidak
terlihat sebelumnya. Sumur itu sudah ada di sana bahkan sebelum Hagar tiba di
tempat itu. Di sinilah letak pertolongan Allah. Sebelum “dicelikkan”, Hagar
memandang dirinya dan permasalahannya secara negatif. Dia putus asa, menyerah,
dan meratapi diri. Tetapi ketika Allah “mencelikkan” matanya, pandangannya
berubah. Sekarang, dia memiliki pengharapan dan keyakinan bahwa Allah tidak
pernah meninggalkan dia. Hagar masih berada di tengah gurun pasir, tempat dia
sebelumnya meratap, tetapi sekarang dia tidak lagi meratap namun melangkah
dengan dipenuhi pengharapan.
Seringkali
Allah menolong kita dengan pola yang serupa. Yang Allah lakukan adalah membuka
“mata” kita sehingga kita dapat melihat sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat.
Demikian pula dengan doa. Doa mungkin tidak dapat mengubah kenyataan mengenai
dunia di mana kita hidup, tetapi doa dapat mengubah cara pandang kita terhadap
kenyataan-kenyataan tersebut, dan dengan demikian seringkali menciptakan
perubahan yang nyata. Allah mungkin tidak menjawab doa kita seperti yang kita
inginkan, tetapi pertolongan-Nya dapat datang dalam bentuk yang berbeda.
Tidak ada
orang Atheis di UGD
Pada hari
aku berseru, Engkau pun menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku. (Maz 138:3)
Tetapi
orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama
rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak
menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. (Yes 40:31)
Sub-judul
di atas memang cukup menggelitik, saya membaca istilah tersebut dari sebuah buku
yang memaparkan pada saat yang benar-benar sulit biasanya orang akan mencari
Tuhan. Pada saat mengalami permasalahan yang berat yang menekan sedemikian rupa
dan yang melampaui kekuatan seseorang, dia akan segera menjadi kering dan putus
asa. Pada saat itulah, orang itu akan menyadari bahwa dia membutuhkan kekuatan
yang lebih besar dari dirinya sendiri untuk dapat menanggung permasalahan yang
berat tersebut dan kekuatan itu didapat dari percaya kepada Tuhan. Ada sebuah
perumpamaan yang menggambarkan hal ini.
Seorang
pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada
suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada
di bawahnya. Pekerja itu berteriak-teriak, tetapi temannya tidak bisa
mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja,
sehingga usahanya sia-sia saja. Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang
yang ada di bawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan temannya.
Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu
mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yang sama.
Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah
orang itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit,
temannya menengadah ke atas. Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan
yang berisi pesannya. Tuhan kadang-kadang menggunakan permasalahan-permasalahan
untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Seringkali Tuhan melimpahi kita
dengan berkat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-Nya.
Karena itu, agar kita selalu mengingat kepada-Nya, Tuhan sering menjatuhkan
"batu kecil" dalam hidup kita untuk membuat kita lebih
dekat kepada-Nya.
Yang
disebut mujizat bukan hanya perkara-perkara yang spektakuler tetapi bagaimana
seseorang yang menderita kanker selama bertahun-tahun dapat dengan tabah terus
menjalani hidup. Bagaimana seseorang yang lumpuh dapat terus bersemangat
mengiring Tuhan. Bagaimana seseorang yang kehilangan anaknya yang masih kecil
dalam suatu kecelakaan mobil dapat bertahan dan tidak meninggalkan Tuhan. Dan
bagaimana gereja dan umat Tuhan dapat terus bertahan dan percaya kepada
kekuatan doa di tengah-tengah dunia yang semakin hari semakin jahat dan tidak
adil. Tuhan membuat mujizat ketika Dia membuat orang-orang biasa melakukan
hal-hal yang luar biasa. Saya percaya jawaban atas pernyataan-pernyataan di
atas adalah karena kita mempunyai kekuatan yang Tuhan berikan dan kekuatan itu
didapat di dalam doa.
Ketika
kekuatan kita habis karena menanggung tekanan dan persoalan, kita perlu
berpaling kepada Allah untuk mendapatkan pembaharuan kekuatan sehingga kita
dapat terus berlari dan tidak menjadi lelah.
Menyatukan
Hati
Mereka
semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama (Kis 1:14)
Beberapa
waktu yang lalu ada seorang anak yang terbaring di rumah sakit karena menderita
leukimia. Keluarga beserta dengan beberapa orang Kristen bersatu di dalam doa
untuk kesembuhan anak tersebut tapi tidak lama kemudian anak itu meninggal
dunia. Tetapi sebenarnya mujizat tetap terjadi. Mujizat bukan hanya berarti
anak tersebut disembuhkan dari leukimia tetapi juga masih bertahannya keluarga
tersebut walaupun telah kehilangan seorang anak dan bersatunya rekan-rekan
Kristen di sekitar mereka untuk mendoakan anak itu.
Kata religi
atau agama (religio:Latin) memiliki akar kata yang sama dengan kata ligamen
(Latin) yang berarti ikatan. Kata ligamen menggambarkan dengan tepat fungsi
agama, agama adalah suatu ikatan. Agama bukan hanya berupa sekumpulan
pengajaran baik dan etika kehidupan tetapi agama juga adalah suatu komunitas di
mana seorang dengan yang lain dapat saling mendukung.
Doa,
terutama doa bersama, bukan hanya berarti persekutuan dengan Allah tetapi juga
persekutuan dengan sesama di mana melalui doa tersebut kita menjadi bagian
dalam sebuah kesatuan yang berdoa tanpa memedulikan latar belakang, jabatan,
suku, ras, tingkat ekonomi, dan perbedaan lainnya. Doa menyatukan hati kita dan
di mana ada kesatuan, di situlah berkat Tuhan dicurahkan (Mzm 133; Mat 18:19).
Karena itu
pulalah mengapa keluarga-keluarga Kristen didorong untuk mengadakan mezbah
keluarga karena melalui mezbah keluarga, keretakan di dalam rumah tangga dapat
dipulihkan dan disatukan kembali. Itulah sebab mengapa kita harus berdoa karena
doa dapat menyatukan hati.
Kita Tidak
Pernah Sendiri
Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? (Maz
22:2)
Bawalah
kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari
kami seperti dahulu kala! Atau, apa Engkau sudah membuang kami sama sekali?
Sangat murkakah Engkau terhadap kami?(Rat
5:20-22)
Kitab
Ratapan ditulis oleh nabi Yeremia sesaat setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan
bangsa Babel. Nabi menangis menyaksikan penghukuman yang dijatuhkan oleh Allah
terhadap bangsa Israel. Di tengah-tengah duka karena penderitaan yang berat,
dinaikkanlah doa ini: Apakah Tuhan masih ada bersama dengan kami? Apakah Tuhan
masih mengingat kami? Apakah Tuhan telah menjadi musuh kami? Atau apakah Tuhan
telah membuang dan menelantarkan kami? Akhir dari kitab Ratapan ini adalah
sebuah tanda tanya (?) seakan-akan menunjukkan pertanyaan yang tidak terjawab.
Kesepian
adalah ketiadaan jalinan hubungan yang berarti dengan Tuhan dan sesama.
Perasaan ini menguras sukacita atau setidak-tidaknya menyebabkan kita merasa
terasing yang pada akhirnya mengarah kepada rasa frustrasi. Kesepian adalah
problem yang sama mematikannya dengan permasalahan itu sendiri. Tidak ada satu
manusia pun yang ingin ditinggalkan sendiri ketika mengalami suatu konflik.
Tidak mengherankan doa pemulihan yang dinaikkan Yeremia adalah pertanyaan
apakah Allah masih ada bersama bangsa Israel. Di tengah-tengah masalah, bangsa
Israel menginginkan kepastian bahwa Allah ada bersama mereka.
Jawaban
dari pertanyaan di akhir kitab Ratapan tersebut terdapat di dalam kitab yang
sama (Rat 3:22-23). Kasih Tuhan tidak pernah berkesudahan dan diperbaharui
setiap hari. Jadi, apakah Allah ada bersama dengan mereka yang mengalami
permasalahan atau “dihukum” oleh Tuhan? Tentu saja Allah ada bersama mereka dan
memulihkan mereka karena dosa kita tidak dapat mematikan cinta Allah. Tetapi di
dalam doa kita menyadari kehadiran Alah tersebut. “Apabila kamu mencari Aku,
kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati”(Yer
29:13). Di dalam doa, kita akan menemukan Allah dan mendapati bahwa Dia selalu
bersama kita.
Penutup
Sebagai
penutup, saya ingin mengatakan bahwa saya percaya pada kekuatan doa dan bahwa
Tuhan menjawab doa. Walaupun Dia tidak menjawab doa kita sesuai dengan apa yang
kita naikkan, namun Dia menjawabnya dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu,
janganlah jemu-jemu berdoa!
Daftar
Pustaka:
1. F.F.
Bruce, New Testament History, Galilee Books, New York, 1974.
2. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
3. Harold.
S. Kushner, Ketika Manusia Membutuhkan Tuhan, Pustaka Tangga, Jakarta, 2005,