Selasa, 06 November 2012

Mengapa saya harus berdoa


Pendahuluan

Pertanyaan ini seringkali diungkapkan oleh banyak orang. Mungkin ada dari antara orang Kristen yang menjadi skeptis ketika mendengar kata doa. Ada begitu banyak doa yang tidak terjawab yang membuat sebagian orang enggan untuk berdoa. Mereka berargumen, ”toh, berdoa atau tidak berdoa hasilnya sama saja” sehingga doa tidak lagi dipandang sebagai suatu kebutuhan utama tetapi hanya sebagai kebutuhan “sampingan” yang akan dijalankan apabila kepepet.
Bagi sebagian yang lain, doa hanya dipandang sebagai suatu kegiatan liturgis; suatu seremonial yang harus dilaksanakan sebelum melakukan sesuatu. Jikalau tidak berdoa, mereka takut “usaha” mereka akan gagal atau tidak berhasil. Doa telah berubah menjadi momok menakutkan yang harus dilaksanakan. Bagi orang yang menganut pandangan ini, Tuhan telah berubah menjadi “centeng” atau “preman jalanan” yang harus disogok dengan doa jikalau seseorang ingin berhasil dan sukses
Untuk yang lainnya, doa hanya sekadar kebiasaan. Karena begitu seringnya kita berdoa, doa dapat kehilangan greget-nya. Kita dapat berdoa tanpa adanya “rasa”. Misalnya, sebelum makan kita dapat secara “otomatis” berdoa mengucap syukur kepada Allah atas makanan yang Dia beri tetapi sesungguhnya hati kita tidak mengucap syukur kepada-Nya.
Di samping itu, kita hidup di era modern yang mengajarkan kepada kita bahwa kita bisa mendapatkan “segalanya” dengan berusaha walaupun kita tidak berdoa. Saya pernah mendengar teman saya yang pernah bermukim di Jepang mengeluh mengenai betapa susahnya membuat orang Jepang percaya kepada Kristus. Mereka percaya bahwa mereka memperoleh segala sesuatu bukan karena Tuhan tetapi karena mereka berusaha mendapatkannya. Jadi, jikalau kita dapat memperoleh sesuatu tanpa harus berdoa, mengapa kita harus berdoa?

Doa = Berkomunikasi dengan Allah
Sebelum kita menjawab pertanyaan mengenai mengapa kita harus berdoa, kita harus terlebih dahulu memahami apakah yang dimaksud dengan doa.

Ada 14 kata bahasa Ibrani dan 9 kata bahasa Yunani yang diterjemahkan dengan kata doa. Hampir seluruh dari pengertian kata-kata tersebut (misalnya: 'anna' dan sha'al-Ibrani atau deomai-Yunani) menempatkan hubungan kita dengan Tuhan dalam posisi yang tidak setara; Dia adalah Tuhan sedangkan kita adalah hamba-Nya. Tetapi Tuhan Yesus memperkenalkan konsep “baru” yang bahkan pada jaman itu tidak dikenal oleh orang Israel. Tuhan Yesus menyebut Allah sebagai bapak/ayah (Abba-Aramaik; pater - Yunani). Bangsa Israel memang mengakui bahwa Allah adalah Bapak mereka namun Allah diakui sebagai Bapak bangsa, bukan bapak pribadi (bangsa Israel menyebut Allah dengan sebutan Abinu). Bagi bangsa Israel pada waktu itu, menyebut Allah dengan sebutan Abba, yang adalah panggilan akrab untuk ayah di dalam keluarga, adalah suatu penghujatan besar. Tetapi bagi Tuhan Yesus sebutan itu justru menggambarkan hubungan yang akrab dengan Allah dan keinginan Allah untuk bergaul akrab dengan umat-Nya. Allah ingin berkomunikasi dengan kita secara akrab dan jalur komunikasi itu adalah melalui doa.

Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Karena doa adalah komunikasi maka di dalam doa haruslah ada pengiriman dan penerimaan pesan, dan dilakukan dua arah. Hilangnya salah satu unsur tersebut menghilangkan makna komunikasi di dalam doa. Karena unsur komunikasi inilah, seseorang dapat menjalin hubungan dengan Allah di dalam doa. Namun di dalam menjalin hubungan dengan Allah, seseorang dapat salah persepsi.

Martin Buber pernah mengeluarkan konsep mengenai hubungan manusia. Di dalam konsepnya, dia mengatakan bahwa dalam kehidupan kita, terdapat dua cara untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Kita dapat melihat orang lain sebagai obyek. Cara pandang ini disebut cara pandang “Saya-Itu” atau dalam istilah bahasa Inggris “I-It”. Atau kita dapat memandang mereka sebagai subyek. Cara pandang ini disebut cara pandang “Saya-Engkau” atau dalam bahasa Inggrisnya “I-Thou”3.

Berdasarkan konsep tersebut, ada dua cara pandang orang Kristen terhadap Tuhan. Pertama, kita dapat memandang Tuhan sebagai obyek. Artinya, Dia kita pandang berfungsi untuk melayani kita, kita mendapatkan sesuatu dari-Nya tetapi kita tidak peduli dengan perasaan-Nya. Tuhan kita pandang sebagai mesin yang apabila “tombol” yang tepat ditekan, Dia akan memberikan apa pun yang kita inginkan. Kita dapat menyogok Tuhan dengan perilaku yang saleh dan kata-kata pujian. Kita memercayai Tuhan hanya agar kita dapat memanfaatkan dan memanipulasi Dia. Tipe doa yang dinaikkan oleh orang yang memiliki pandangan seperti ini adalah jikalau saya berdoa dengan benar, maka Tuhan akan memberikan apa yang saya inginkan. Sama seperti Tuhan tidak akan memperlakukan kita sebagai obyek, Dia pun tidak akan membiarkan diri-Nya dimanfaatkan sesuai keinginan kita.

Cara pandang kedua adalah Tuhan kita anggap sebagai subyek. Tuhan selalu memandang kita sebagai seorang pribadi, Dia tidak pernah memanipulasi kita. Sebaliknya Dia mencukupi segala kebutuhan kita karena Dia mengasihi kita. Karena itu, cara pandang kita terhadap Tuhan seharusnya juga dilandasi di atas pemikiran yang sama. Kita datang kepada Tuhan bukan karena kita menginginkan sesuatu dari Dia tapi semata-mata karena kita mengasihi Dia. Kita menyembah Dia karena apa yang Dia perbuat dalam hidup kita. Tipe doa orang yang menganut cara pandang ini adalah jikalau saya berdoa dengan benar, maka saya akan mengenal Tuhan lebih dalam lagi sehingga apa yang dulu saya anggap berarti tidak lagi berarti bagi saya karena pengenalan akan Tuhan melebihi segalanya4.          

Dalam prakteknya kita sering memandang Allah menurut cara pandang pertama. Doa-doa kita dipenuhi dengan permohonan. Memohon atau meminta suatu pertolongan dari Tuhan memang tidaklah salah, tetapi itu hanyalah salah satu bagian dari doa. Doa adalah komunikasi orang percaya dengan Tuhan. Kata kuncinya adalah komunikasi, bukan sekadar bicara atau meminta. Tuhan adalah seorang pribadi di mana kita berkomunikasi dengan-Nya (dua arah), bukan berbicara kepada-Nya (satu arah). Ujian sebuah doa adalah apakah Tuhan menjadi lawan bicara dalam percakapan itu.

Manfaat Doa

Mujizat dalam Doa
Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. (Yak 5:16)

Mengapa kita harus berdoa? Pertama-tama adalah karena saya percaya Allah mengabulkan doa-doa dan melakukan mujizat-mujizat. Kita “dihujani” dengan begitu banyak kesaksian yang menyatakan bahwa Allah menjawab doa dan permohonan tepat seperti apa yang didoakan mulai dari perkara yang sederhana sampai dengan permasalahan yang sulit. Doa yang dinaikkan dengan iman dapat menghasilkan mujizat.

Alkitab sendiri dipenuhi oleh kisah tokoh-tokoh Alkitab yang permohonannya dijawab oleh Tuhan, contohnya: Doa Abraham untuk kesejahteraan Ismael dikabulkan (Kej 17:20), Rahel dan Hana yang mandul akhirnya memiliki anak karena mereka berdoa (Kej 30:22; I Sam 1:17), Tuhan menghentikan matahari karena doa Yosua (Yos 10:14), Allah menolong perjalanan Ezra (Ezra 8:23), dan masih banyak lagi. Allah kita adalah Allah yang menjawab doa. Tetapi seringkali walaupun seseorang berdoa dengan iman, penyakit tetap tidak disembuhkan, orang yang dia kasihi tetap meninggal, orangtua tetap bercerai, dan permasalahan masih tetap ada. Apakah itu berarti doa itu tidak terjawab? Apakah semua jawaban doa itu terjadi karena faktor kebetulan? Jikalau Tuhan tidak menjawab doa, mengapa kita harus berdoa? Ataukah Allah sedang bekerja dengan cara-Nya?

Melihat yang Tidak Terlihat
Allah tidak membuat “mujizat” ketika menolong Hagar (Kej 21:8-21). Tuhan tidak membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Mujizat atau pertolongan Tuhan pada saat itu adalah Allah membukakan mata Hagar untuk melihat apa yang tidak terlihat sebelumnya. Sumur itu sudah ada di sana bahkan sebelum Hagar tiba di tempat itu. Di sinilah letak pertolongan Allah. Sebelum “dicelikkan”, Hagar memandang dirinya dan permasalahannya secara negatif. Dia putus asa, menyerah, dan meratapi diri. Tetapi ketika Allah “mencelikkan” matanya, pandangannya berubah. Sekarang, dia memiliki pengharapan dan keyakinan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan dia. Hagar masih berada di tengah gurun pasir, tempat dia sebelumnya meratap, tetapi sekarang dia tidak lagi meratap namun melangkah dengan dipenuhi pengharapan.

Seringkali Allah menolong kita dengan pola yang serupa. Yang Allah lakukan adalah membuka “mata” kita sehingga kita dapat melihat sesuatu yang sebelumnya tidak terlihat. Demikian pula dengan doa. Doa mungkin tidak dapat mengubah kenyataan mengenai dunia di mana kita hidup, tetapi doa dapat mengubah cara pandang kita terhadap kenyataan-kenyataan tersebut, dan dengan demikian seringkali menciptakan perubahan yang nyata. Allah mungkin tidak menjawab doa kita seperti yang kita inginkan, tetapi pertolongan-Nya dapat datang dalam bentuk yang berbeda.

Tidak ada orang Atheis di UGD
Pada hari aku berseru, Engkau pun menjawab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiwaku. (Maz 138:3)
Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah. (Yes 40:31)

Sub-judul di atas memang cukup menggelitik, saya membaca istilah tersebut dari sebuah buku yang memaparkan pada saat yang benar-benar sulit biasanya orang akan mencari Tuhan. Pada saat mengalami permasalahan yang berat yang menekan sedemikian rupa dan yang melampaui kekuatan seseorang, dia akan segera menjadi kering dan putus asa. Pada saat itulah, orang itu akan menyadari bahwa dia membutuhkan kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri untuk dapat menanggung permasalahan yang berat tersebut dan kekuatan itu didapat dari percaya kepada Tuhan. Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan hal ini.

Seorang pekerja pada proyek bangunan memanjat ke atas tembok yang sangat tinggi. Pada suatu saat ia harus menyampaikan pesan penting kepada teman kerjanya yang ada di bawahnya. Pekerja itu berteriak-teriak, tetapi temannya tidak bisa mendengarnya karena suara bising dari mesin-mesin dan orang-orang yang bekerja, sehingga usahanya sia-sia saja. Oleh karena itu untuk menarik perhatian orang yang ada di bawahnya, ia mencoba melemparkan uang logam di depan temannya. Temannya berhenti bekerja, mengambil uang itu lalu bekerja kembali. Pekerja itu mencoba lagi, tetapi usahanya yang keduapun memperoleh hasil yang sama. Tiba-tiba ia mendapat ide. Ia mengambil batu kecil lalu melemparkannya ke arah orang itu. Batu itu tepat mengenai kepala temannya, dan karena merasa sakit, temannya menengadah ke atas. Sekarang pekerja itu dapat menjatuhkan catatan yang berisi pesannya. Tuhan kadang-kadang menggunakan permasalahan-permasalahan untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Seringkali Tuhan melimpahi kita dengan berkat, tetapi itu tidak cukup untuk membuat kita menengadah kepada-Nya. Karena itu, agar kita selalu mengingat kepada-Nya, Tuhan sering menjatuhkan "batu kecil"  dalam hidup kita untuk membuat kita lebih dekat kepada-Nya.

Yang disebut mujizat bukan hanya perkara-perkara yang spektakuler tetapi bagaimana seseorang yang menderita kanker selama bertahun-tahun dapat dengan tabah terus menjalani hidup. Bagaimana seseorang yang lumpuh dapat terus bersemangat mengiring Tuhan. Bagaimana seseorang yang kehilangan anaknya yang masih kecil dalam suatu kecelakaan mobil dapat bertahan dan tidak meninggalkan Tuhan. Dan bagaimana gereja dan umat Tuhan dapat terus bertahan dan percaya kepada kekuatan doa di tengah-tengah dunia yang semakin hari semakin jahat dan tidak adil. Tuhan membuat mujizat ketika Dia membuat orang-orang biasa melakukan hal-hal yang luar biasa. Saya percaya jawaban atas pernyataan-pernyataan di atas adalah karena kita mempunyai kekuatan yang Tuhan berikan dan kekuatan itu didapat di dalam doa.

Ketika kekuatan kita habis karena menanggung tekanan dan persoalan, kita perlu berpaling kepada Allah untuk mendapatkan pembaharuan kekuatan sehingga kita dapat terus berlari dan tidak menjadi lelah.

Menyatukan Hati
Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama (Kis 1:14)

Beberapa waktu yang lalu ada seorang anak yang terbaring di rumah sakit karena menderita leukimia. Keluarga beserta dengan beberapa orang Kristen bersatu di dalam doa untuk kesembuhan anak tersebut tapi tidak lama kemudian anak itu meninggal dunia. Tetapi sebenarnya mujizat tetap terjadi. Mujizat bukan hanya berarti anak tersebut disembuhkan dari leukimia tetapi juga masih bertahannya keluarga tersebut walaupun telah kehilangan seorang anak dan bersatunya rekan-rekan Kristen di sekitar mereka untuk mendoakan anak itu.

Kata religi atau agama (religio:Latin) memiliki akar kata yang sama dengan kata ligamen (Latin) yang berarti ikatan. Kata ligamen menggambarkan dengan tepat fungsi agama, agama adalah suatu ikatan. Agama bukan hanya berupa sekumpulan pengajaran baik dan etika kehidupan tetapi agama juga adalah suatu komunitas di mana seorang dengan yang lain dapat saling mendukung.

Doa, terutama doa bersama, bukan hanya berarti persekutuan dengan Allah tetapi juga persekutuan dengan sesama di mana melalui doa tersebut kita menjadi bagian dalam sebuah kesatuan yang berdoa tanpa memedulikan latar belakang, jabatan, suku, ras, tingkat ekonomi, dan perbedaan lainnya. Doa menyatukan hati kita dan di mana ada kesatuan, di situlah berkat Tuhan dicurahkan (Mzm 133; Mat 18:19).

Karena itu pulalah mengapa keluarga-keluarga Kristen didorong untuk mengadakan mezbah keluarga karena melalui mezbah keluarga, keretakan di dalam rumah tangga dapat dipulihkan dan disatukan kembali. Itulah sebab mengapa kita harus berdoa karena doa dapat menyatukan hati.
               
Kita Tidak Pernah Sendiri
Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? (Maz 22:2)
Bawalah kami kembali kepada-Mu, ya TUHAN, maka kami akan kembali, baharuilah hari-hari kami seperti dahulu kala! Atau, apa Engkau sudah membuang kami sama sekali? Sangat murkakah Engkau terhadap kami?(Rat 5:20-22)

Kitab Ratapan ditulis oleh nabi Yeremia sesaat setelah kejatuhan Yerusalem ke tangan bangsa Babel. Nabi menangis menyaksikan penghukuman yang dijatuhkan oleh Allah terhadap bangsa Israel. Di tengah-tengah duka karena penderitaan yang berat, dinaikkanlah doa ini: Apakah Tuhan masih ada bersama dengan kami? Apakah Tuhan masih mengingat kami? Apakah Tuhan telah menjadi musuh kami? Atau apakah Tuhan telah membuang dan menelantarkan kami? Akhir dari kitab Ratapan ini adalah sebuah tanda tanya (?) seakan-akan menunjukkan pertanyaan yang tidak terjawab.

Kesepian adalah ketiadaan jalinan hubungan yang berarti dengan Tuhan dan sesama. Perasaan ini menguras sukacita atau setidak-tidaknya menyebabkan kita merasa terasing yang pada akhirnya mengarah kepada rasa frustrasi. Kesepian adalah problem yang sama mematikannya dengan permasalahan itu sendiri. Tidak ada satu manusia pun yang ingin ditinggalkan sendiri ketika mengalami suatu konflik. Tidak mengherankan doa pemulihan yang dinaikkan Yeremia adalah pertanyaan apakah Allah masih ada bersama bangsa Israel. Di tengah-tengah masalah, bangsa Israel menginginkan kepastian bahwa Allah ada bersama mereka.

Jawaban dari pertanyaan di akhir kitab Ratapan tersebut terdapat di dalam kitab yang sama (Rat 3:22-23). Kasih Tuhan tidak pernah berkesudahan dan diperbaharui setiap hari. Jadi, apakah Allah ada bersama dengan mereka yang mengalami permasalahan atau “dihukum” oleh Tuhan? Tentu saja Allah ada bersama mereka dan memulihkan mereka karena dosa kita tidak dapat mematikan cinta Allah. Tetapi di dalam doa kita menyadari kehadiran Alah tersebut. “Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati”(Yer 29:13). Di dalam doa, kita akan menemukan Allah dan mendapati bahwa Dia selalu bersama kita.

Penutup

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa saya percaya pada kekuatan doa dan bahwa Tuhan menjawab doa. Walaupun Dia tidak menjawab doa kita sesuai dengan apa yang kita naikkan, namun Dia menjawabnya dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, janganlah jemu-jemu berdoa!


Daftar Pustaka:
1. F.F. Bruce, New Testament History, Galilee Books, New York, 1974.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
3. Harold. S. Kushner, Ketika Manusia Membutuhkan Tuhan, Pustaka Tangga, Jakarta, 2005,